Monthly Archives: November 2012

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SECTIO CAESAREA

Juniartha Semara Putra

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SECTIO CAESAREA
A.    PENGERTIAN
a.       Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).
b.      Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
c.       Sectio Cesarea adalah suatu cara untuk melahirkan janin melalui sayatan pada dinding uterus yang ancangannya dilakukan melalui dinding depan abdomen (Rustam Mochtar, 1992).
d.      Pakar Ilmu Penyakit Kandungan dan Kebidanan lainnya (Sarwono, 1991), mendefinisikan SC sebagai suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
e.       Seksio sesarea adalah melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut atau laparatomi dan dinding uterus atau histerectomy (prichord Mc. Donald, Gand, 1991 : 1007)
f.       Section caesarea adalah lahirnya janin melalui insisi didinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). (cuningham, F garry, 2005 ; 592)
g.      Operasi Caesar atau sectio caesarea adalah proses persalinan yang dilakukan dengan cara mengiris perut hingga rahim seorang ibu untuk mengeluarkan bayi. (www.mikoraharja.wordpress.com)
Jadi operasi Seksio Sesaria ( sectio caesarea ) adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin ( persalinan buatan ), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat
B.     ETIOLOGI
Adapun penyebab dilakukan operasi sectio caesarea adalah :
a.       Kelainan dalam bentuk janin
v  Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir.
v  Ancaman gawat janin
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi. Apalagi jika ditunjang oleh kondisi ibu yang kurang menguntungkan.
v  Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetic, dan hidrosephalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyebabkan diputuskannya dilakukan operasi.
v  Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
b.      Kelainan panggul
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan. Terjadinya kelainan panggul ini dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan pertumbuhan dalam rahim (sejak dalam kandungan), mengalami penyakit tulang (terutama tulang belakang), penyakit polio atau mengalami kecelakaan sehingga terjadi kerusakan atau patah panggul.
c.       Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003).
C.     PATOPISIOLOGI
Amnion terdapat pada plasenta dan berisi cairan yang didalamnya adalah sifat dari kantung amnion adalah bakteriostatik yaitu untuk mencegah karioamnionistis dan infeksi pada janin. Atau disebut juga sawar mekanik terhadap infeksi. Setelah amnion terinfeksi oleh bakteri dan disebut kolonisasi bakteri maka janin akan berpotensi untuk terinfeksi juga pada 25% klien cukup bulan yang terkena infeksi amnion, persalinan kurang bulan terkena indikasi ketuban pecah dini daripada 10% klien persalinan cukup bulan indikasi ketuban pecah dini akan menjadi tahap karioamnionitis (sepsis, infeksi menyeluruh).
Keadaan cerviks yang baik pada kontraksi uterus yang baik, maka persalinan per vagina dianjurkan, tetapi apabila terjadi gagal induksi cerviks atau induksi cerviks tidak baik, maka tindakan sectio caesarea tepat dilakukan secepat mungkin untuk menghindari kecacatan atau terinfeksinya janin lebih parah.
D.    KLASIFIKASI
Seksio sesaria diklasifikasikan menjadi :
1        Seksio sesaria abdominalis (abdomen)
a.       Seksio sesarea transperitonealis profunda
Pembedahan yang sering dilakukan dewasa ini adalah seksio transperitonealis profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
Keunggulan pembedahan ini adalah :
v  Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
v  Bahaya peritonitis tidak besar
v  Perut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri ini di kemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
b.      Seksio sesarea klasik / seksio sesarea corporal
Pada seksio sesarea klasik insisi dibuat pada korpus uteri. Pembedahan ini agak lebih mudah untuk dilakukan, hanya diselenggarakan apabila ada halangan untuk melakukan seksio sesarea transperiotenealis profunda. Tetapi pembedahan jenis ini kurang disukai disebabkan oleh lebih besarnya bahaya peritonitis, dan kira-kira 4 kali lebih besar bahaya ruptura uteri pada kehamilan yang akan datang. Oleh karena itu sesudah seksio sesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi atau histerektomi.
c.       Seksio sesarea ekstraperitoneal
Pada pembedahan jenis ini dahulu digunakan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal akan tetapi dengan kemajuan pengetahuan terhadap infeksi, pembedahan ini sekarang tidak banyak dilakukan (Lukito Husodo, 2007 : 864)

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN APPENDIKSITIS AKUT

Juniartha Semara Putra

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN APPENDIKSITIS AKUT
A.    PENGERTIAN
a.       Apendisitis merupakan suatu peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Price, 1994 : 401).
b.      Appendiksitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2000).
c.       Appendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dzri sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).
d.      Appendiksitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur
B.     ETIOLOGI
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
v  Faktor Obstruksi
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia       jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda             asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
v  Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes fragililis, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
v  Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis.
v  Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari.
Sedangkan penyebab appendiksitis menurut para ahli adalah:
1.      Menurut Syamsyuhidayat,2004:
a.       Fekalit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.
b.      Tumor apendiks.
c.       Cacing ascaris.
d.      Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.
e.       Hiperplasia jaringan limfe.
2.      Menurut Mansjoer , 2000 :
a.       Hiperflasia folikel limfoid.
b.      Fekalit.
c.       Benda asing.
d.      Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
e.       Neoplasma.
3.      Menurut Markum,1996:
a.       Fekolit
b.       Parasit
c.       Hiperplasia limfoid
d.      Stenosis fibrosis akibat radang sebelumnya
e.       Tumor karsinoid
C.    PATOFISIOLOGI
Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Obstruksi pada lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat. Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora kuman di kolon mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi           apendisitis komplit, yang meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi         oleh berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
D.    TANDA DAN GEJALA
Menurut Betz, Cecily, 2000:
a.       Sakit, kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadran kana bawah
b.      Anoreksia
c.       Mual
d.      Muntah,(tanda awal yang umum, kuramg umum pada anak yang lebih besar).
e.       Demam ringan di awal penyakit dapat naik tajam pada peritonotis.
f.       Nyeri lepas.
g.      Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.
h.      Konstipasi.
i.        Diare.
j.        Disuria.
k.      Iritabilitas.
l.        Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala pertama. 
Manifestasi klinis menurut Mansjoer,2000:
Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius.
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
E.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Laboratorium
a.       Pemeriksaan darah
v  leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi.
v  pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b.      Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.
2.      Radiologis
a.       Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi             komplikasi (misalnya peritonitis) tampak :
v  scoliosis ke kanan
v  psoas shadow tak tampak
v  bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
v  garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
v  5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
b.      USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
c.       Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
d.      CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e.       Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix (appendectomy).
F.     PENALAKSANAAN
Penatalaksanaan apendiksitis menurur Mansjoer,2000:
1.      Sebelum operasi
ü  Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
ü  Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
ü  Rehidrasi
ü  Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
ü  Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
ü  Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
2.      Operasi
ü  Apendiktomi.
ü  Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
ü  Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan  operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3.      Pasca operasi
ü  Observasi TTV.
ü  Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
ü  Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
ü  Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.
ü  Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
ü  Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
ü  Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2×30 menit.
ü  Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
ü  Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN APPENDIKSITIS AKUT
A.    PENGKAJIAN
Pengkajian menurut Wong (2003), Doenges (1999), Catzel (1995), Betz (2002), antara lain:
1.    Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai :
a.       Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
b.      Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien sekarang ditanyakan kepada orang tua.
c.       Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d.      Kebiasaan eliminasi.
2.      Pemeriksaan Fisik
a.       Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
b.      Sirkulasi : Takikardia.
c.       Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
d.      Aktivitas/istirahat : Malaise.
e.       Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
f.       Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
g.      Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
h.      Demam lebih dari 380C.
i.        Data psikologis klien nampak gelisah.
j.        Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
k.      Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
l.        Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
3.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum).
b.      Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat.
c.       Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
d.      Peningkatan leukosit, neutrofilia, tanpa eosinofil.
e.       Pada enema barium apendiks tidak terisi.
f.       Ultrasound: fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses apendiks.
B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul pada anak dengan kasus apendiksitis berdasarkan rumusan diagnosa keperawatan  menurut NANDA (2006) antara lain:
1.      Pre Operasi
v  Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
v  Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.
v  Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
v  Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
v  Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
2.      Post Operasi
v  Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
v  Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
v  Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
v  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
C.    INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi menurut Mc.Closkey (1996) Nursing Intervention Classsification (NIC), dan hasil yang diharapkan menurut Johnson (2000) Nursing Outcome Classification ( NOC) , antara lain:
1.      Pre Operasi
Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang.
Ø  NOC   : Level nyeri, kriteria hasil:
1        Nyeri berkurang
2        Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3        Kegelisahan atau keteganganotot
4        Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5        Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
Ø  NIC : Penatalaksanaan nyeri
1.      Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan, factor presipitasinya
2.      Observasi ketidaknyamanan non verbal
3.      Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4.      Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
5.      Anjurkan pasien untuk istirahat
6.      Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7.      Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.
Ø  Tujuan :Setelah dilakukan  tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien adekuat.
Ø  NOC: Status Gizi, kriteria hasil:
1        Mempertahankan berat badan.
2        Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3        Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4        Turgor kulit baik.
Ø  NIC: Pengelolaan Nutrisi
1.      Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2.      Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3.      Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
4.      Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5.      pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
DxIII. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal 370 C
Ø  NOC : Thermoregulation,kriteria hasil:
1.      Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan
2.      Suhu tubuh dalam batas normal
3.      Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
4.      Perubahan warna kulit tidak ada
Ø  NIC : Fever Treatment
1.      Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
2.      Pantau warna kulit dan suhu
3.      Ajarkan keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia
4.      Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian.
5.      Berikan cairan intravena
Dx IV.  Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan  tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
Ø  NOC: Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1.      Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2.      Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3.      Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
Ø  NIC: Penatalaksanaan defekasi
1.      Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan warna yang tepat.
2.      Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan penggunaan laksatif.
3.      Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan latihan.
4.      Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5.      Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku.
Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan  tindakan keperawatan diharapkan pasien bebas dari gejala peritonitis.
Ø  NOC: Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1.      Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2.      Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun dalam batas normal.
3.      Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
Ø  NIC: Pengendalian Infeksi
1.      Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
2.      Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3.      Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi.
4.      Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
5.      Lindungi pasien dari kontaminasi silang.
2.      Post Operasi
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang.
Ø  NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1.      Nyeri berkurang
2.      Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3.      Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
4.      Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
Ø  NIC: Penatalaksanaan nyeri
1.      Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
2.      Observasi ketidaknyamanan non verbal
3.      Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4.      Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
5.      Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
6.      Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7.      Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
Ø  NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1.      Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal
2.      Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3.      Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,
4.      Tidak ada rasa haus yang berlebihan
Ø  NIC : Fluid Management
1.      Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2.      Monitor vital sign dan status hidrasi
3.      Monitor status nutrisi 
4.      Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+albumin dan waktu pembekuan.
5.      Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
6.      Atur kemungkinan transfusi darah.
Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Ø  Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi pada luka bedah.
Ø  NOC: Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1.      Bebas dari tanda dan gejala infeksi.
2.      Higiene pribadi yang adekuat.
3.      Mengikuti prosedur dan pemantauan.
Ø  NIC: Pengendalian Infeksi
1.      Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).
2.      Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
3.      Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
4.      Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang steril.
5.      Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.
Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Ø  Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan.
Ø  NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:
1.      Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
2.      Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
Ø  NIC : Management Energi
1.      Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
2.      Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
3.      Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
4.      Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas
5.      Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
6.      Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.
D.    IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien.
E.     EVALUASI
Evaluasi dilaksanakan berdasarkan tujuan dan outcome.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC
Catzel, Pincus.1995. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta: EGC.
Dongoes. Marilyn. E.dkk 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencana Pendokumentasian Perawatan Klien.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby Yearbook,Inc.
            Markum.1991.Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi  3. Jakarta : Media Aesculapius.
Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis, Missouri: Mosby Yearbook,Inc.
Nelson.1994.Ilmu Kesehatan Anak.Vol 2.Jakarta: EGC.
Sabiston, D.C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Syamsuhidayat. R & De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 .Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta: EGC

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

Juniartha Semara Putra

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR
A.    PENGERTIAN
·         Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma. Fraktur digolongkan sesuai jenis dan arah garis fraktur.
·         Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsi .
·         Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang yang berlebihan (Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)
·         Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. (Price and Wilson, 1995 : 1183)
·         Fraktur menurut Rasjad (1998 : 338) adalah hilangnya konstinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.
B.     ETIOLOGI
Menurut Apley dan Salomon (1995), tulang bersifat relative rapuh namun cukup mempunyai kekuatan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat disebabkan oleh:
1.      Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2.      Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
3.      Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
Etiologi patah tulang menurut Barbara C. Long adalah
1.      Fraktur akibat peristiwa trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma, antara lain :
a.       Trauma langsung
Bila fraktur terjadi ditempat dimana bagian tersebut terdapat ruda paksa, misalnya : benturan atau pukulan pada tulang yang mengakibatkan fraktur.
b.      Trauma tidak langsung
Misalnya pasien jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi, dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan, suprakondiskuler, klavikula.
c.       Trauma ringan
Dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh.Selain itu fraktur juga disebabkan olehkarena metastase dari tumor, infeksi, osteoporosis, atau karena tarikan spontan otot yang kuat.
2.      Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan
Tulang jika bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsobsi energi atau kekuatan yang menimapnya.
3.      Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau ostepororsis.
C.    PATOFISIOLOGI
1.      Barbara C. Long menguraikan bahwa ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan syok neurogenik.  Sedangkan kerusakan pada system persarafan, akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah yang cidera.  Kerusakan pada kulit dan jaringan lainnya dapat timbul oleh karena trauma atau mecuatnya fragmen tulang yang patah. Apabila kulit robek an luka memiliki hubungan dengan tulang yang patah maka dapat mengakibatkan kontaminasi sehingga resiko infeksi akan sangat besar.
2.      Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya  (Black, J.M, et al, 1993)
3.      Menurut Black dan Mtassarin ( 1993 ) serta Patridk dan Woods ( 1989 ) ketika patah tulang terjasi akan timbul kerusakan pada korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan linak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengalami fraktur. Terjadi respon inflamasi akibat adanya jaringan nekrotik yang di tandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leokosit. Hematom yang terbentuk menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler.
D.    KLASIFIKASI
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).
2.       Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
a.      Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b.     Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3.       Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a.       Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b.       Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c.       Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
4.       Berdasarkan posisi fragmen :
a.      Undisplaced (tidak bergeser) / garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
b.      Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur
5.       Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :
a.       Tertutup
b.       Terbuka (adanya perlukaan dikulit).
6.       Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a.       Garis patah melintang.
b.       Oblik / miring.
c.       Spiral / melingkari tulang.
d.      Kompresi
e.       Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.
7.       Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a.       Tidak adanya dislokasi.
b.       Adanya dislokasi
·         At axim : membentuk sudut.
·         At lotus : fragmen tulang berjauhan.
·         At longitudinal : berjauhan memanjang.
·         At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
E.     MANIFESTASIKLINIS
1.      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang   diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.      Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi  normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3.      Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah  tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4.      Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5.      Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
F.     KOMPLIKASI
1.      Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
2.      Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3.      Nonunion,  patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4.      Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5.      Shock,
6.      Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7.      Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam  sering terjadi pada individu yang imobiil dalm waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil
8.      Infeksi
9.      Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.
10.  Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
G.    PEMERIKSAAN FISIK
Periksa dibawah patah tulang , biasanya akan ditemukan kulit berwarna kebiruan dan pucat, denyut nadi tak teraba. Selain itu pada bagian yang mengalami fraktur, otot disekitarnya mengalami spame
1.      Inspeksi : Lihat dan bandingkan dengan sisi yang normal, dan perhatikan hal-hal dibawah ini :
a.       Adanya perubahan asimetris kanan dan kiri
b.      Adanya deformitas seperti agulasi ( membentuk sudut ) atau rotasi dan pemendekan
c.       Jejas ( tanda yang menunjukan bekas trauma )
d.      Pembengkaan
e.       Terlihat adanya tulang yang keluar dari jaringan lunak
2.      Palpasi ( meraba dan merasakan ) : Bandingkan dengan sisi yang sehat sampai dapat dirasakan perbedaanya.
a.       Adanya nyeri tekan pada daerah cedra ( tenderness )
b.      Adanya krepitasi pada perabaan yang sedikit kuat
c.       Adanya gerak abnormal dengan perabaan agak kuat.
d.      Jangan lakukan pemeriksaan yang sengaja untuk mendapat bunyi krepitasi atau gerakan abnormal, misalnya dengan meraba dengan kuat sekali.
3.      Gerakan : Terdapat dua gerakan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat pergerakan akibat patah tulang, yaitu :
a.       Gerakan aktif
Adalah pemeriksaan gerakan dengan meminta pasien untuk menggerakkan sendiri pada bagian yang cidera
b.      Gerakan pasif
Perawat yang mrnggerakan bagian tubuh pasien yang mengalami patah tulang.
H.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.
2.      Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks. 
I.       PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1.      Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
2.      Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
a.       Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b.      Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi  atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.
Mempertahankan  dan mengembalikan fungsi, segala upaya  diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
·         Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
·         Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
·         Memantau status neurologi.
·         Mengontrol kecemasan dan nyeri
·         Latihan isometrik dan setting otot
·         Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
·         Kembali keaktivitas secara bertahap.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :
·         Imobilisasi fragmen tulang.
·         Kontak frgmen tulang minimal.
·         Asupan darah yang memadai.
·         Nutrisi yang baik.           
·         Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
·         Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
·         Potensial listrik pada patahan tulang.
3.      Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
4.      Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah
5.      Proses Penyembuhan Tulang
a.       Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24 jam.
b.      Stadium Proliferasi
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.
c.       Stadium Pembentukan Kallus
Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 – 10 hari setelah kecelakaan terjadi.
d.      Stadium Konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah kecelakaan.
e.       Stadium Remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

A. Price, Sylvia. (1995). PATOFISIOLOGI : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4. Jakarta : EGC.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Arif, Mansoer, et all, (1999), Kapita Selecta Kedokteran, Jakarta , Media Aesculapius.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Brunner and Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta : EGC.
Cambridge Comunication Limited. (1999). Anatomi fisiologi system pernapsan dan kardiovaskuler. Ed.2. Buku 4. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Doengoes, Marilyn et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ed. 3 Jakarta, EGC.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Price Sylvia A, (1995), Patafisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku II ed. IV, Jakarta, EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN BRONKOPNEUMONIA

Juniartha Semara Putra

LAPORAN PENDAHULUAN BRONKOPNEUMONIA

A.    Pengertian

Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru ( Betz C, 2002 )
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak. (Suriadi Yuliani, 2001)
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (IKA, 2001)
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak – anak

B.     Etiologi

Pneumonia bisa dikatakan sebagai komplikasi dari penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di bawah ini
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat menimbulkan pneumonia sedang timbulnya setelah ada faktor- faktor prsesipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya.
Y Bakteri
 Organisme gram positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus dan streptococcus pyogenis.
Y Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus yang merupakan sebagai penyebab utama pneumonia virus.
Y Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung.
Y Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti pada penderita AIDS.

C.    Manifestasi klinis

Y Pneumonia bakteri
Gejala awal :
         Rinitis ringan
         Anoreksia
         Gelisah
Berlanjut sampai :
         Demam
         Malaise
         Nafas cepat dan dangkal ( 50 – 80 )
         Ekspirasi bebunyi
         Lebih dari 5 tahun, sakit kepala dan kedinginan
         Kurang dari 2 tahun vomitus dan diare ringan
         Leukositosis
         Foto thorak pneumonia lobar
Y Pneumonia virus
Gejala awal :
         Batuk
         Rinitis
Berkembang sampai
         Demam ringan, batuk ringan, dan malaise sampai demam tinggi, batuk hebat dan lesu
         Emfisema obstruktif
         Ronkhi basah
         Penurunan leukosit
Y Pneumonia mikoplasma
Gejala awal :
         Demam
         Mengigil
         Sakit kepala
         Anoreksia
         Mialgia
          Berkembang menjadi :
         Rinitis
         Sakit tenggorokan
         Batuk kering berdarah
         Area konsolidasi pada pemeriksaan thorak

D.    Patofisiologi

Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme patogen yaitu virus dan stapilococcus aurens, H. Influenza dan streptococcus pneumoniae bakteri.
Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multipel lobus. Terjadinya destruksi sel dengan menanggalkan debris celluler ke dalam lumen yang mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
Pada anak kondisi ini dapat akut maupun kronik misal pad AIDS, Cystic Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan risiko pneumonia.

E.     Pemeriksaan diagnostik

1. Foto polos   : digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
     virus

F.      Penatalaksanaan medis

§  Pengobatan supportive bila virus pneumonia
§  Bila kondisi berat harus dirawat
§  Berikan oksigen, fisiotherapi dada dan cairan intravena
§  Antibiotik sesuai dengan program
§  Pemeriksaan sensitivitas untuk pemberian antibiotik

G.   Penatalaksanaan perawatan

1. Pengkajian
                Kaji status pernafasan
                Kaji tanda- tanda distress pernafasan
                Kaji adanya demam, tachicardia, malaise, anoreksia, kegeisahan
2. Diagnosa keperawatan
1.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas
2.      Gangguan petukaran gas berhubungan dengan meningkatnya sekresi dan akumulasi exudat
3.      Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
4.      Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
5.      Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
6.      Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
3. Perencanaan
1.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan  sekret di jalan nafas
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih
Kriteria:
    Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
    Sekret di jalan nafas bersih
    Cuping hidung tidak ada
    Tidak ada sianosis
Intervensi:
          Kaji status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
          Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
          Posisikan kepala lebih tinggi
          Lakukan postural drainage
          Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
          Jaga humidifasi oksigen yang masuk
          Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru
Tujuan: setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
Kriteria:
                      Akral hangat
                      Tidak ada tanda sianosis
                      Tidak ada hipoksia jaringan
                      Saturasi oksigen perifer 90%
Intervensi:
                      Pertahankan kepatenan jalan nafas
                      Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
                      Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
                      Konsul dokter jaga jika ada tanda hipoksia/ sianosis
                      Awasi tingkat kesadaran klien
3.      Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan demam, menurunnya intake dan tachipnea
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil:
          Tidak ada tanda dehidrasi
          Suhu tubuh normal 36,5-37 0C
          Kelopak mata tidak cekung
          Turgor kulit baik
          Akral hangat
Intervensi:
          Kaji adanya tanda dehidrasi
          Jaga kelancaran aliran infus
          Periksa adanya tromboplebitis
          Pantau tanda vital tiap 6 jam
          Lakukan kompres dingin jika terdapat hipertermia suhu diatas 38 C
          Pantau balance cairan
          Berikan nutrisi sesuai diit
          Awasi turgor kulit
4.      Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi infeksi akibat pemasangan infus.
Kriteria hasil:
          Aliran infus lancar
          Tidak ada tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
          Suhu tubuh dalam batas normal
          Tidak ada tromboplebitis
Intervensi:
          Awasi adanya tanda- tanda infeksi pada tempat pemasangan infus
          Jaga kelancaran aliran infus
          Jaga kenbersihan tempat pemasangan infus
          Jaga tempat pemasangan infus tetap kering
          Tutup tempat pemasangan infus dengankasa betadin
          Ganti lokasi pemasangan infus tiap 3 x 24 jam
5.      Risiko tinggi terjadi kerussakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest total
Tujuan: seletah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil:
          Tidak terdapat luka dekubitus pda lokasi yang tertekan
          Warna kulit daerah tertekan tidak hipoksia, kemerahan
Intervensi:
          Lakukan massage pada kulit tertekan
          Monitor adanya luka dekubitus
          Jaga kulit tetap kering
          Berikan kamfer spiritus pada punggung  dan daerah tertekan
          Jaga kebersihan dan kekencangan linen
6.      Risiko tinggi terjadi cedera berhubungandengan kejang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi injuri akibat kejang
Kriteria hasil:
                      Tidak ada injuri pada bagian tubuh jika terjadi kejang
                      Orang tua selalu mengawasi disamping anaknya
                      Orang tua melapor jika terjadi kejang
                      Tempat tidur terpasang pengaman
Intervensi:
                      Pasang pengaman di sisi tempat tidur
                      Anjurkan orang tua untuk melapor jika terjadi kejang
                      Siapkan sudip lidah/ pasang pada mulut pasien
                      Kolaborasi berikan anti kejang luminal dan diazepam
                      Berikan obat sesuai program
                      Awasi adanya kejang tiap 15 menit sekali
Daftar pustaka
  1. Suriadi, Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto;2001
  2. Staf Pengajar FKUI. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3. Jakarta: 
  3. Infomedika;2000
  1. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC; 1997
  2. Betz & Sowden. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC;2002
  3. Wong and Whaley. ( 1995 ). Clinical Manual of Pediatric Nursing. Philadelphia:

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Juniartha Semara Putra

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

 

Prostat terdiri dari    :
                      #     Kelenjar            50  –  70   %
                      #     Sroma
                      #     Musculer          30  –  50  %
Bentuk         :      Bentuk         :    terbalik,  terjepit
Basis            :      leher buli-buli, apex diafragma urogenetalia
Ukuran         :      P : 4 – 6 cm       L : 3 – 4 cm     T : 2 – 3 cm
Urethra         :      Poterior berjalan ditengahnya.
PATOFISIOLOGI
          Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas keatas ( bladder ), didalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine.
Respon Bladder terhadap tahanan ini  :
#   Hiperiritable : urgency dan frekuensi
#   Bladder mencoba kompensasi terhadap peningkatan beban kerja, otot dinding buli-buli hypertropi
#   Jika sumbatan aliran urine berlanjut                dilatasi ureter dan ginjal (hidrometer, hydronephrosis). Pembesaran prostat dapat juga menyumbat leher buli-buli atau urethra prostatica                  retensi urine                      UTI
ETIOLOGI
#   Sebab yang pasti belum diketahui
#   Faktor yang berperan  :   
                           Sifat Jaringan  : Berasal dari sinus urogenital yang berpotensi proliferasi
Hormonal  ( pubertas                      BPH     θ   )
 

                                                    Kastrasi
Usia (balance hormonal berubah)
Beberapa hypothesa  :
1. Dihidrotestosteron (DHT) 
     5  alpha reduktase meningkat              DHT meningkat + androgen reseptor

 

                                                    proliferasi sel prostat
2. Inbalace estrogen  –  testosteron
     Usia meningkat             testosteron menurun           estrogen tetap       
              Estrogen bebas                                                                                                             
           testosteron bebas         meningkat           proliferasi sel, kematian sel
                                                                                    menurun.
3.   Berkurangnya sel yang mati
PENGKAJIAN
Riwayat Keperawatan
#   Suspect BPH           umur  ??
#   Pola urinari ; frekuensi, nocturia, disuria.
#   Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
#   BPH  >  60 tahun              hematuri
Pemeriksaan fisik
#   Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
#   Distensi kandung kemih
F  Inspeksi   :   menonjol                retensi urine
F  Palpasi     :  ballotement            retensi urine
F  Perkusi     :  redup
#    Pemeriksaan prostat               posisi knee chest
      COLOK DUBUR 
      Syarat      :  buli-buli kosong / dikosongkan
      Tujuan     :  Menentukan konsistensi  prostat
                         Menentukan besar prostat
      Kreteria besarnya prostat
      Derajat    I   :  berat        s.d.   20   gr           datar
                      II   :  berat         20 – 40   gr
                     III   :  berat           >  40    gr                cembung
Pemeriksaan laborat
# Urinalisis ( test glukosa, protein, begin darah dan PH )
   Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap sel darah putih, SDM atau PUS.
# RFT         evaluasi fungsi renal
# Serum acid phosphatase                   prostat malignancy
Pemeriksaan uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max    :   >         15    ml  /  detik           non obstruksi
                  10    –   15    ml  /  detik                 border line
                   <         10    ml  /  detik                 obstruktif
Intra Vena Pyelografi ( IVP )
# Indikasi       : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
# Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
DIAGNOS KEPERAWATAN
1.    Potensial injury dan potensial infeksi  s.d obstruksi perkemihan
       # Nyeri s.d obstruksi urinary
       # Dysfungsi sexual s.d obstrusi perkemihan
       # Kecemasan s.d obstruksi urinary
PERENCANAAN
Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi
             Urine.
Intervensi:
# Non Pembedahan
1.   Memperkecil gejala obstruksi       hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.
  Prostatic massage
  Frekuensi coitus meningkat
  Masturbasi
2.   Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.
3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic,        anti histamin, decongestan.
4.   Terapi medikamentosa pada BPH
a.   Fito Terapi
*   Hypoxis rosperi (rumput)
*   Serenoa repens (palem)
*   Curcubita pepo (waluh )
b.      1). GOLONGAN SUPRESSOR ANDROGEN
·         Inhibitor 5 alfa reduktase
·         Anti androgen
·         Analog LHRH
2). GOLONGAN ALFA BLOKER
Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
#     Pembedahan
       Indikasi pembedahan BPH         
·         Retensi urine akut
·         Retensi urine kronis
·         Residual urine  >  100 ml
·         BPH dengan penyulit
·         Terapi medikamentosa tak berhasil
·         Flow metri obstruktif
   #   Kontra indikasi
·         IMA
·         CVA akut
   #   Tujuan  :
·         Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
·         Memperbaiki kualitas hidup
1).   TUR – P               90  –  95  %
        Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial  
        Keuntungan   :
·         Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
·         Tak perlu insisi pembedahan
·         Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
         Kerugian       :
·         Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
·         Kemungkinan trauma urethra             strictura urethra
2)     Retropubic atau extravesical prostatectomy
                        Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih
3)     Perianal prostatectomy
         #   Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
         #   Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
         #   Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat
4)     Suprapubic atau tranvesical prostatectomy
PRE OPERATIF CARE
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien 
·         Type pembedahan
·         Jenis anesthesi     TUR – P, general / spina anesthesi
·         Cateter : folly cateter, CBJ
POST OPERATIF CARE
  1. TUR – P
·         Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
·         Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi             nyeri spasme
·         CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin          mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
·         Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuency, dribbling, kebocoran                      normal
·         Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris meningkat intake cairan minimal 3000 ml / hari            membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.
b.    OPEN PROSTATECTOMY
·         Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding            urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding           urine seprti anggur                  traction kateter
·         Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat        deep wound infection,  pelvic abcess
·         Suprapubic prostatectomy
= Perlu CBI via suprapubic                  klien diinstruksikan tetap tidur sampai CBI dihentikan 
= Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
= Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat
EVALUASI
Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari adalah  :
1).   Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
2).   Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
3).   Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
4).   Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.
KASUS
            Tn. X. usia 56 tahun, datang ke poli urologi dengan keluhan sering kencing, disuria, kesulitan memulai kencing,. Pada saat akhir kencing menetes, terasa ada sisa. Tekanan darah 150/130 mm Hg. Hasil uroflow metri 13 ml/detik.
  1. Apakah tn X mengalami BPH, ? Urolithiasis ?
  2. Keluhan / gejala apa yang mendukung ?
  3. Pemeriksaan apa yang diperlukan ?
  4. Masalah keperawatan apa yang lazim terjadi ?
  5. Bagaimana mekanisme terjadinya masalah tersebut ?
  6. Intervensi apa yang dilakukan sesuai masalah diatas ?
PENYULIT BPH
BPH YANG TIDAK DIRAWAT PADA SEBAGIAN KLIEN LAMA-LAMA AKAN DAPAT BERAKIBAT :
    1. MENURUNNYA KUALITAS HIDUP
    2. INFEKSI SALURAN KENCING
    3. TERBENTUKNYA BATU BULI-BULI
    4. HEMORROID
    5. RETENSIO URINE
    6. GANGGUAN FUNGSI GINJAL
    7. HIDRONEFROID
    8. HEMATURIA
Watchful Waiting
Indikasi        :   BPH dengan IPPS Ringan
                           Baseline data normal
                           Flowmetri non obstruksi
Follow – up :   Tiap 3 – 6 bulan
INDIKASI PEMBEDAHAN BPH
  Retensi urin akut
  Retensi urin kronis
  Residual urine > 100 ml
  BPH dengan penyulit
  Terapi medika mentosa tidak berhasil
  Flowmetri obstruktif
KONTRA INDIKASI PEMBEDAHAN
  Infark Miokard Akut
  CVA Akut
PEMBEDAHAN BPH
# TUR PROSTAT                   : 90    –   95   %
# OPEN PROSTATECTOMY :   5    –   10   %
BPH YANG BESAR  ( 50  –  100  GRAM )             Tidak habis direseksi dalam1 jam. Disertai BBB Besar (>2,5cm), multiple.Fasilitas TUR tak ada.
MORTALITAS PEMBEDAHAN BPH
0  –  1  % KAUSA  :  Infark Miokatd
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan Klien  :  66 – 95  %
PROSES MIKSI
            FASE PENGISIAN  
                        Pves   :        <  20 cm H2O
            Pup    :   60 – 100 cm H2O
FASE EKSPULSI :
ISI BLADER 200 – 300 ml
Mulai terangsang ingin kencing

 

Reseptor Strecth

 

Syaraf Otonom PS S2 – 4

 

Tonus Bladder 60 – 120 cm H2O (ingin kencing)

 

Up membuka, sp. Eks masih menutup
BPH                    P up meningkat
Kontraksi Detrusor meningkat

 

Hipertropi

 

P Ves > P up                   P Ves < P up

 

Fase Kompensata                    Fase Decompensata
Kualitas miksi masih baik                   Retensio Urine

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Juniartha Semara Putra

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.  PENGERTIAN
BPH (Benign Prostate Hyperplasia) adalah pembesaran non kanker yang progresif akibat hyperplasia pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi urethral dan pembatasan aliran urine. 
2.  EPIDEMIOLOGI
     Kelenjar prostat bertambah besar pada pria sejalan dengan meningkatnya umur. Sekitar 50 % pria menunjukkan gambaran BPH secara histologis pada umur 60 tahun dan angka ini meningkat sampai dengan 90 % pada umur 85 tahun.
Angka insiden BPH meningkat dari 3 kasus per 1000 pria-tahun pada umur 45 – 49 tahun, dan menjadi 38 kasus per 1000 pria-tahun pada umur 75 – 79 tahun. Sementara itu, angka prevalensinya sebesar 2,7 % untuk pria umur 45 – 49 tahun, dan meningkat menjadi 24 % pada umur 80 tahun.
           
3.  ETIOLOGI
Saat ini, penyebab terjadinya BPH adalah akibat adanya ketidakseimbangan endokrin.  Testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat.
Seiring bertambahnya umur, kadar testosteron menurun secara relatif terhadap estrogen yang meningkat. Kelenjar prostat kemudian membesar akibat responnya yang tinggi terhadap level estradiol bersama dengan level androgen yang rendah. Di sisi lain, Dihydrotestosteron (DHT) sebagai metabolit testosteron yang disintesis di stromal prostat menjadi mediator penting dari proses ini (prostate-growth mediator). Dan hormon estrogen tadi dapat meningkatkan suseptibilitas sel terhadap DHT. Proses tersebut di atas dapat menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat di zona periuretral dan transisi yang akhirnya diikuti dengan hipertropi kelenjar prostat.
4.    PATOFISIOLOGI
<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> SHAPE  \* MERGEFORMAT <![endif]–><!–[if gte vml 1]>

Hiperplasia Kelenjar Prostat

Faktor Risiko

Etiologi

Hipertropi Kelenjar Prostat

Kapsula menahan expansi prostat

Penekanan urethra pars prostatika

Obstruksi Urethral

Resistensi Bladder

Gejala

Obstruksi

Incomplete emptying

Intermittency

Hesistency

Straining

Weak stream

Disuria, Hematuria

Gejala

Iritatif

Nokturia

Urgensi

Otot detrusor irritable

Otot detrusor meregang & menebal

Sensitivitas meningkat

Otot detrusor melemah

Dekompensasi

Residu urine meningkat

Perubahan

Pola Eleminasi

Gangguan Pola Tidur

Retensi Urine

Inkontinensia

Nyeri

Risiko Infeksi

Nyeri

<![endif]–><!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> <![endif]–>

                                                           
5.  GEJALA KLINIS
Gejala – gejala BPH dibedakan menjadi 2 yaitu :
1.      Gejala iritatif
       Nokturia (keinginan umtuk sering kencing di waktu malam hari)
       Urgensi (tidak bisa menahan keinginan untuk kencing)
2.      Gejala obstruktif
       Pancaran kencing melemah
       Incomplete emptying (rasa tidak lampias setelah kencing)
       Hesistency (jika miksi harus menunggu lama)
       Intermitensi (kencing terputus – putus)
       Waktu miksi memanjang
6.    PEMERIKSAAN FISIK
a.                                 Periksa adanya tanda retensi kandung kencing di suprapubik.
b.        Lakukan pemeriksaan rektal dengan Digital Rectal Examination (DRE) untuk mengevaluasi pria dengan dugaan BPH. Pada pemeriksaan didapatkan interpretasi grade BPH sebagai berikut:
Grade I :
Pada grade I, sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, pasien mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia. Bila diperiksa dengan rektal toucher ditemukan tonjolan 1 – 2 cm, bila diperiksa dengan clinical grading didapatkan sisa urin 0 – 55 cm.
Grade II :
Pada grade II, bila miksi terasa panas, sakit, disuria, mudah terjadi infeksi, kadang-kadang terdapat panas tinggi, menggigil dan nyeri di daerah pinggang. Bila diperiksa dengan rectal toucher ditemukan tonjolan 2-3 cm.
Bila diperiksa dengan clinical grading sisa urin 50-150 cc.
Grade III :
Gejala makin berat. Bila diperiksa dengan rectal toucher ditemukan tonjolan 3-4cm. Bila diperiksa dengan clinical grading sisa urin >150 cc.
Grade IV :
Penderita merasa kesakitan, air kencing keluar menetes secara periodik. Pada pemeriksaan fisik perlu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor karena terjadi bendungan yang hebat pada grade IV.  Bila over flow inkontinence dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-41° C, dan kesadaran menurun. Bila diperiksa dengan rectal toucher ditemukan tonjolan 4 cm. Bila diperiksa dengan clinical grading sama sekali tidak bisa kencing.
7.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.      Laboratorium:
1. Urinalisis :
Makroskopis: evaluasi warna urine (kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah)),  penampilan keruh, pH  atau berat jenis urine.
Mikroskopis: evaluasi sedimen urine untuk mengetahui adanya darah, bakteri, leukosit, protein atau glukosa.
2. Kultur urin :
Dilakukan bila pada urinalisis awal ditemukan kelainan. Pada kultur bisa didapatkan adanya Stapylococcus aureus, Proteus, Klebsiela, Pseudomonas, dan Echerichia coli.
3. Elektrolit, BUN/ kreatinin :
 Menilai fungsi ginjal, meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
b.      Imaging:
1. Intravenous Pyelography (IVP) :
   Menunjukkan perlambatan pengosongan kandung kemih dan penebalan abnormal  otot kandung kemih.
2. Transrectal Ultrasonography (TRUS):
Mengukur ukuran prostat dan vesika urinaria, jumlah residu   urine, melokalisasi nyeri yang tidak berhubungan dengan BPH, derajat hodronefrosis (bila ada).
c.                                 Test lainnya :
Evaluasi berat ringannya BPH dengan kuisioner International Prostate Symptm Score (IPSS)
8.    PENATALAKSANAAN
1.      Konservatif:
a.      Life Style Modifications
Mengurangi minuman setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat – obatan jenis dekongestan (parasymphatolitic), mengurangi minum kopi dan tidak boleh minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
b.      Medikamentosa
– Penghambat Adrenergik (Doxazosin, Terazosin, Alfuzosin, dan Tamsulosin)
– Penghambat enzim 5-α-reduktase (finasteride dan dutasteride)
2.      Invasif
a.      Minimally Invasive
– Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
– Transurethral Balooning Dilatation (TUBD)
– High Density Focused Ultrasound
b.      Pembedahan
-Transurethral Resection of the Prostate (TUR-P)
– Transurethral Incision of the Prostate (TIR-P)
– Open Prostatectomy
– Laser Prostatectomy
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.  PENGKAJIAN
a.    SIRKULASI
Tanda: Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
b.   ELIMINASI
Gejala:
·         Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
·         Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
·         Nokturia, disuria, hematuria.
·         Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
·         Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
Tanda:
·           Masa pada abdomen bagian bawah dan nyeri tekan (distensi kandung kemih), hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
c.    MAKANAN / CAIRAN
Gejala:
·           Anoreksia, nausea, vomiting.
·           Kehilangan BB mendadak.
d.   NYERI / NYAMAN
Gejala:
·           Nyeri suprapubis, panggul, pinggang belakang, intens (pada prostatitis akut).
e.    SEKSUALITAS
Gejala:
·         Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
·         Takut beser kencing selama kegiatan intim.
·         Penurunan kontraksi ejakulasi.
Tanda:
·         Pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.
f.      PENGETAHUAN / PENDIDIKAN
·         Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
·         Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika / antibakterial untuk saluran kencing, obat alergi.
2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan patofisiologi dan pohon masalah, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Perubahan Pola Eliminasi Urin b/d resistensi kandung kencing (otot detrusor iritabel, meregang dan menebal) serta obstruksi urethral yang ditandai dengan hesistency, intermittency, incomplete emptying, disuria, nokturia dan urgensi.
   2. Retensi Urine b/d pembesaran prostat, dekompensasi kelemahan otot destrusor sehingga kandung kemih  tidak mampu berkontraksi dengan adekuat, serta residu urine yang terus meningkat. Ini ditandai dengan: keragu – raguan dalam berkemih, dan ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih.
3. Nyeri b/d distensi kandung kemih pada retensi urine, iritasi mukosa kandung kemih, yang ditandai dengan adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian bawah, dan wajah meringis kesakitan dan respon otonomik.
4. Gangguan pola tidur b/d nokturia d/d sering terjaga pada saat tidur
5. Risiko Tinggi Infeksi  b/d stasis urine dalam kandung kemih, serta refluks urine ascendent (vesico-ureteralis).


RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Rencana Tindakan
Rasionalisasi
1.
Perubahan Pola Eliminasi Urine  berhubungan dengan :
– Mekanisme obstruksi
– Kelemahan otot – otot detrusor
Ditandai dengan :
– Sering kencing, dysuria, nokturia, inkontinensia, retensi urin.
– Blas penuh, supra-pubis tidak nyaman.
Tujuan  :  setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3×24 jam Jumlah urine normal dengan kriteria hasil :
a.    Klien mampu mengosongkan kandung kencing setiap 2 – 4 jam.
b.    Klien mampu melakukan perineal exercise.
c.    klien B.a.k 1500 cc / 24 jam.
– Kaji pengeluaran urine
– Anjurkan klien untuk mengo-songkan kandung kemih setiap 2 – 4 jam,atau bila ada dorongan
– Anjurkan klien banyak minum 2500 – 3000 cc per hari, dan batasi cairan pada malam hari.
– Anjurkan klien untuk perineal exercise, contoh dengan mengerutkan bokong, menahan urine, baru mengalirkan urine.
– Retensi dapat terjadi karena obstruksi urethra dan kelemahan otot detrusor
– Berkemih bila ada dorongan dapat mencegah retensi urine.
– Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
– Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih, dan meminimalkan inkontinensia
2.
Retensi Urine berhubungan dengan
– residu urin yang terus meningkat
Ditandai dengan :
– keragu-raguan dalam berkemih, ketidak -mampuan dalam mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
– inkontinensia
– residu urine
– distensi kandung kemih
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan masalah retensi urin teratasi dengan kriteria hasil :
a.       berkemih dengan jumlah yang cukup dan tidak teraba distensi kandung kemih
b.      Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml, dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran.
– Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila tiba – tiba dirasakan
– Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
– Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan keluaran  urin
– Perkusi/palpasi area supra pubik
– Dorong masukan cairan sampai 3000 ml/hr
– Awasi tanda vital dengan ketat. Observasi edema perifer, perubahan mental, pertahankan pemasukan dan pengeluaran akurat.
– Berikan rendam duduk sesuai indikasi
– Kolaborasi pemasangan keteter
– Meminimalkan retensi urine dan distensi berlebihan pada kandung kemih
– Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
– Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuan untuk memfilter daan mengkonsentrasi substansi.
– Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik
– Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dari pertumbuhan bakteri.
– Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik.
– Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
– mencegah retensi urin dan mengesampingkan adanya striktur uretra.
3.
Nyeri berhubungan dengan :
– obtruksi uretral
– penebalan otot detrusor
Ditandai dengan :
– adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian bawah.
– Wajah meringis kesakitan.
– Respon otonomik
Tujuan  : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil :
a.       Klien dapat mengontrol nyeri     dengan menggunakan skala nyeri 1-10
b.      Klien tampak rileks.
c.       Klien dapat beristirahat dengan tenang
– Kaji intensitas nyeri dengan skala  1- 10.
– Fiksasi kateter dengan cara yang tepat agar tetap stabil
– Anjurkan pada klien untuk tehnik relaksasi dengan cara menarik napas panjang, atur posisi senyaman mungkin
– Kolaborasi pemberian analgetik bila diperlukan.
– Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi
– mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotum
– Meningkatkan relaksasi , memfokuskan kembali perhatian, dapat meningkatkan kemampuan koping.
– Diberikan untuk meringankan nyeri
4.
Gangguan pola tidur b/d nokturia d/d sering terbangun pada saat tidur
Tujuan : setelah dilakukan tindakan peraawatan pasien tidak mengalami gangguan pola tidur drngan kriteri hasil :
  1. Klien dapat tidur seperti biasanya
  2. Tidak sering terbangun pada malam hari
– tentukan kebiasaan tidur dan perubahan yang terjadi
– atur posisi senyaman mungkin
– hindari mengganggu pasien saat tidur
– mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat
– meningkatkan kenyamanan tidur pasien
– Tidur tanpa gangguan lebih menimbulkan rasa segar.
5.
Risiko Tinggi Infeksi  berhubungan dengan :
– Stasis urine di kandung kemih
– Refluks urine dari kandung kemih ke ureter dan ginjal.
Tujuan  : setelah diberikan tindakan perawatan selama 3×24 jam klien terhindar dari re-siko infeksi saluran kemih, dengan kriteria hasil :
a.    Tanda vital dalam keadaan normal.
b.    Tidak terdapat tanda – tanda infeksi
c.    Urine bersih dan jernih.
d.   tidak terasa nyeri.
– Memasang dan melepaskan kateter dengan cara aseptik dan antiseptik.
– Cegah terjadinya refluks urine dengan cara : menggantung urine bag lebih rendah dari kandung kemih.
   dan klem kateter bila akan memindahkan klien.
– Anjurkan klien banyak minum 2500 cc – 3000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi 
– Ukur tanda vital klien setiap 4 jam atau sesuai kebutuhan.
– Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antibiotik atau pemeriksaan   diagnostik
– Untuk mencegah terjadinya infeksi
– Terjadinya refluks urin dapat meningkatkan risiko infeksi
– Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
– Peningkatan suhu menunjukkan risiko komplikasi sepsis
– Untuk mencegah terjadinya infeksi


D. EVALUASI
     Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ditentukan, maka dilakukan evaluasi terhadap keberhasilan tindakan tersebut. Beberapa hal yang dapat dievaluasi yaitu :
          keluhan nyeri berkurang
          Pasien dapat buang air kecil seperti biasanya
          Pasien dapat tidur sesuai pola tidurnya
          Tidak terjadi infeksi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989), Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ), .            Philadelpia, F.A. Davis Company.
Sjamsu, R. Hidajat, Wim de Jong, (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
Staf Pengajar FK- UI ( Bagian Bedah ), (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Rupa           Aksara, Jakarta.
Guyton A.C., Hall J.E. (1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.
Raymon J.L. Benign Prostate Hyperplasia, www.eMedicine.com, Last Cited February 22, 2008.
             

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI

Juniartha Semara Putra

BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI
Konsep  Dasar
1.            Pengertian 
§  Benigna  Prostat  Hiperplasi ( BPH )  adalah   pembesaran  jinak   kelenjar  prostat,  disebabkan  oleh  karena  hiperplasi  beberapa  atau  semua  komponen  prostat  meliputi  jaringan  kelenjar / jaringan  fibromuskuler  yang   menyebabkan  penyumbatan   uretra   pars  prostatika  ( Lab / UPF  Ilmu  Bedah  RSUD  dr.  Sutomo,  1994  :  193 ).
§  BPH  adalah  pembesaran    progresif   dari  kelenjar  prostat  ( secara  umum  pada  pria  lebih  tua  dari  50  tahun  )  menyebabkan   berbagai   derajat  obstruksi  uretral   dan  pembatasan    aliran  urinarius   ( Marilynn,  E.D,  2000 : 671 ).

1.                   Etiologi

           Penyebab  yang  pasti  dari  terjadinya  BPH  sampai  sekarang  belum  diketahui.  Namun  yang  pasti  kelenjar  prostat  sangat  tergantung  pada  hormon  androgen.  Faktor  lain  yang  erat  kaitannya   dengan  BPH  adalah  proses  penuaan  Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1).       Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen  menyebabkan  epitel  dan  stroma  dari  kelenjar  prostat  mengalami  hiperplasi .
2).       Perubahan  keseimbangan  hormon  estrogen  –  testoteron
Pada  proses  penuaan  pada  pria  terjadi  peningkatan  hormon  estrogen  dan  penurunan   testosteron  yang  mengakibatkan  hiperplasi  stroma.
3).       Interaksi  stroma  –  epitel
Peningkatan  epidermal  gorwth  factor  atau  fibroblast   growth    factor  dan  penurunan  transforming  growth  factor  beta  menyebabkan  hiperplasi  stroma  dan  epitel.
4).       Berkurangnya  sel  yang  mati
Estrogen  yang  meningkat  menyebabkan   peningkatan  lama  hidup  stroma  dan  epitel  dari  kelenjar  prostat.
5).       Teori  sel  stem
Sel  stem  yang  meningkat  mengakibatkan    proliferasi  sel  transit  ( Roger  Kirby,  1994 :  38 ).
4.   Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.Gejala Obstruktif yaitu :
a.       Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.      Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c.       Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d.      Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.       Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2.Gejala Iritasi yaitu :
a.       Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b.      Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.       Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

2.                  Diagnosis

Untuk  menegakkan  diagnosis  BPH  dilakukan  beberapa  cara  antara  lain
1). Anamnesa
Kumpulan  gejala  pada  BPH  dikenal  dengan  LUTS  (Lower  Urinary  Tract  Symptoms)  antara  lain:  hesitansi,  pancaran  urin  lemah,  intermittensi,  terminal  dribbling,  terasa  ada  sisa  setelah  miksi  disebut  gejala  obstruksi  dan  gejala  iritatif  dapat  berupa  urgensi,  frekuensi  serta  disuria. 
  2) Pemeriksaan  Fisik
§Dilakukan  dengan  pemeriksaan  tekanan  darah,  nadi  dan  suhu.  Nadi  dapat  meningkat  pada  keadaan  kesakitan  pada  retensi  urin  akut,  dehidrasi  sampai  syok  pada  retensi  urin  serta  urosepsis  sampai  syok – septik.
§Pemeriksaan  abdomen  dilakukan  dengan  tehnik  bimanual  untuk  mengetahui  adanya  hidronefrosis,  dan  pyelonefrosis.  Pada  daerah  supra  simfiser  pada  keadaan  retensi  akan  menonjol.  Saat  palpasi  terasa  adanya  ballotemen  dan  klien  akan  terasa  ingin  miksi. Perkusi  dilakukan  untuk  mengetahui  ada  tidaknya  residual  urin.
§Penis  dan  uretra  untuk  mendeteksi  kemungkinan  stenose  meatus,  striktur  uretra,  batu  uretra,  karsinoma  maupun  fimosis.
§Pemeriksaan  skrotum  untuk  menentukan  adanya  epididimitis
§Rectal  touch / pemeriksaan  colok  dubur  bertujuan  untuk  menentukan  konsistensi  sistim  persarafan  unit  vesiko  uretra  dan  besarnya  prostat.  Dengan  rectal  toucher  dapat  diketahui  derajat  dari  BPH,  yaitu :
a). Derajat  I   =  beratnya  ±  20 gram.
b). Derajat  II  =  beratnya  antara  20 – 40  gram.
c). Derajat  III =  beratnya  > 40  gram.
3)       Pemeriksaan  Laboratorium
§    Pemeriksaan  darah  lengkap,  faal  ginjal,  serum  elektrolit  dan  kadar  gula  digunakan  untuk  memperoleh  data  dasar  keadaan  umum  klien. 
§    Pemeriksaan  urin  lengkap  dan  kultur.
§    PSA  (Prostatik  Spesific  Antigen)  penting diperiksa  sebagai  kewaspadaan  adanya  keganasan.
4)      Pemeriksaan  Uroflowmetri
Salah  satu  gejala  dari  BPH  adalah  melemahnya  pancaran  urin.  Secara  obyektif  pancaran  urin  dapat  diperiksa  dengan  uroflowmeter  dengan  penilaian :
a).  Flow  rate  maksimal  >  15 ml / dtk    =  non  obstruktif.
b).  Flow  rate  maksimal 10 – 15  ml / dtk =  border  line.
c).   Flow  rate  maksimal  <  10 ml / dtk    =  obstruktif.
5)      Pemeriksaan  Imaging  dan  Rontgenologik
a).      BOF  (Buik  Overzich ) :Untuk  melihat  adanya  batu  dan  metastase  pada  tulang.
b).      USG  (Ultrasonografi), digunakan  untuk  memeriksa  konsistensi,  volume  dan    besar  prostat  juga  keadaan  buli – buli  termasuk  residual  urin.  Pemeriksaan  dapat  dilakukan  secara  transrektal,  transuretral  dan  supra  pubik. 
c).      IVP  (Pyelografi  Intravena)
Digunakan  untuk  melihat  fungsi  exkresi  ginjal  dan  adanya  hidronefrosis. 
d)  Pemeriksaan  Panendoskop
Untuk    mengetahui   keadaan  uretra  dan  buli – buli.

3.                  Penatalaksanaan

Modalitas  terapi  BPH  adalah :
1).       Observasi
Yaitu  pengawasan  berkala  pada  klien  setiap  3 – 6   bulan  kemudian  setiap  tahun  tergantung  keadaan  klien
2).       Medikamentosa
Terapi  ini  diindikasikan  pada  BPH  dengan  keluhan  ringan,  sedang,  dan  berat  tanpa  disertai  penyulit. Obat  yang  digunakan    berasal    dari:   phitoterapi   (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens,  dll),  gelombang  alfa  blocker  dan  golongan   supresor   androgen.
3).       Pembedahan
Indikasi  pembedahan  pada  BPH  adalah :
a).    Klien  yang  mengalami  retensi  urin  akut  atau  pernah  retensi  urin  akut.
b).    Klien  dengan  residual  urin  >  100  ml.
c).    Klien  dengan  penyulit.
d).   Terapi  medikamentosa  tidak  berhasil.
e).    Flowmetri  menunjukkan  pola  obstruktif.
Pembedahan  dapat  dilakukan  dengan :
a).    TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95  % )
b).    Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c).    Perianal Prostatectomy
d).   Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4).       Alternatif  lain  (misalnya:  Kriyoterapi,  Hipertermia,  Termoterapi,  Terapi  Ultrasonik .

B.     Diagnosa keperawatan.

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah     sebagai  berikut  :
Pre Operasi :
1).    Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2).    Nyeri  ( akut )  berhubungan  dengan  iritasi  mukosa  buli –   buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3).    Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan  pasca obstruksi diuresis..
4).    Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah
5).    Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1)      Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2)      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3)      Resiko tinggi  cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4)      Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5)      Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6)      Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
B.  Perencanaan
1.      Sebelum Operasi
     
a.      Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan  : tidak terjadi obstruksi
3)   Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
4)   Rencana tindakan dan rasional
1.      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
      R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2.      Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
      R /  Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3.      Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam  saluran perkemihan  yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4.      Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5.      Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b.      Nyeri  ( akut )  berhubungan  dengan  iritasi  mukosa  buli –   buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1).       Tujuan
  Nyeri  hilang  /  terkontrol.
2).       Kriteria  hasil
Klien  melaporkan  nyeri  hilang  /  terkontrol,  menunjukkan  ketrampilan  relaksasi  dan   aktivitas  terapeutik  sesuai  indikasi  untuk  situasi  individu.  Tampak rileks,  tidur  /  istirahat  dengan  tepat.
3).       Rencana tindakan  dan  rasional
a)                  Kaji nyeri,  perhatikan  lokasi,  intensitas  ( skala  0 – 10 ).
R / Nyeri  tajam,  intermitten  dengan  dorongan  berkemih  /  masase  urin  sekitar  kateter  menunjukkan  spasme  buli-buli,  yang  cenderung  lebih berat  pada  pendekatan  TURP  ( biasanya  menurun  dalam  48 jam ).
b)      Pertahankan patensi  kateter  dan  sistem  drainase.  Pertahankan   selang  bebas  dari  lekukan  dan  bekuan.
R/ Mempertahankan  fungsi  kateter  dan  drainase  sistem,  menurunkan  resiko  distensi  /  spasme  buli – buli.
c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan  
                      R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan  tindakan  kenyamanan  ( sentuhan  terapeutik,      pengubahan  posisi,  pijatan  punggung )  dan aktivitas  terapeutik. 
R /   Menurunkan  tegangan  otot,  memfokusksn  kembali  perhatian dan  dapat  meningkatkan  kemampuan  koping.

f)              Berikan  rendam  duduk  atau  lampu  penghangat  bila  diindikasikan.

R/ Meningkatkan   perfusi  jaringan  dan  perbaikan  edema  serta   meningkatkan  penyembuhan         ( pendekatan  perineal ).
f) Kolaborasi  dalam pemberian  antispasmodik
R / Menghilangkan  spasme 
        c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
     Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
    Mempertahankan  hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda  vital  stabil,  nadi  perifer  teraba,  pengisian perifer baik,  membran   mukosa  lembab  dan   keluaran  urin  tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a).    Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/  Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan  jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b).    Pantau  masukan  dan  haluaran  cairan.
R/  Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c).      Awasi  tanda-tanda  vital,  perhatikan  peningkatan  nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
 R/  Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d).     Tingkatkan tirah baring  dengan kepala lebih tinggi
R/  Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g).      Kolaborasi  dalam  memantau  pemeriksaan  laboratorium  sesuai  indikasi,  contoh:
Hb / Ht,  jumlah  sel  darah  merah. Pemeriksaan  koagulasi,  jumlah  trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan  penggantian. Serta dapat  mengindikasikan  terjadinya  komplikasi misalnya  penurunan  faktor  pembekuan  darah,
d.   Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1).    Tujuan
Pasien tampak rileks.
2).    Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
3).    Rencana  tindakan  dan  rasional
a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/   Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.  
R /  Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah
e.    Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1).    Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2).    Kriteria  hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3).    Rencana   tindakan   dan   rasional
a).    Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
      R /  Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
 b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
II.    Sesudah operasi
1.      Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
          Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
          Ekspresi wajah klien tenang.
          Klien akan menunjukkan ketrampilan  relaksasi.
          Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
          Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1.      Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2.      Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
       R/ Menentukan terdapatnya spasmus  sehingga obat – obatan bisa   diberikan
3.      Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.      Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5.      Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.      Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.      Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8.      Observasi tanda – tanda vital
R/  Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah  spasmus kandung kemih.
  1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
       Klien tidak mengalami infeksi.
       Dapat mencapai waktu penyembuhan.
       Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.      Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2.      Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.      Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.      Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
            R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5.      Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.      Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
                Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
                Tanda – tanda vital dalam batas normal .
                Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1.         Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui  tanda – tanda perdarahan
2.      Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/  Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3.      Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk   memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4.         Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
                        R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5.  Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi  dilepas .
                                    R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
 6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan  warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
          Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
          Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
          Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
          Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
      R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan  kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
      R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
                R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi  kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
                  
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
          Klien akan melakukan perubahan perilaku.
          Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1.   Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2.   Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6  minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3.   Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4.   Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
      Kriteria hasil:
          Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
          Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
          Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1.      Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2.      Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
     R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4.      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .


DAFTAR  PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  Asuhan  Keperawatan :  Pedoman  Untuk  Perencanaan  Dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.
Long, B.C., 1996.  Perawatan  Medikal  Bedah : Suatu  Pendekatan  Proses  Keperawatan. Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.
Lab / UPF  Ilmu  Bedah, 1994.  Pedoman  Diagnosis  Dan  Terapi. Surabaya, Fakultas  Kedokteran  Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN HYPERBILIRUBINEMIA DENGAN PHOTO TERAPI

Juniartha Semara Putra

ASUHAN KEPERAWATAN
BAYI DENGAN HYPERBILIRUBINEMIA
DENGAN PHOTO TERAPI
1.      Pengertian
Menurut buku Ilmu Kesahatan Anak II FK Unair Surabaya, 1989 : 257 mengatakan bahwa Hyperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang biasanya diserta dengan ikterus. Kadar bilirubin normal adalah 0 – 1 mg/%.
Sedangkan menurut Wong Dounal and Whaley Lucille, 1990 : 1236 mengatakan hyperbilirubiemia ( joundace) pada bayi baru lahir adalah timbunan dari serum bilirubin melebihi batas normal ( 5 – 7 mg/100 dl)
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
Ikterus dibedakan pada bayi menjadi 3, yaitu :
a.       Ikterus Fisiologik
Disebut Ikterus fisiologik bila :
1)      Timbul pada hari kedua dan ketiga
2)      kedua bilirubin indirek tidak melampaui 10 mg % pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg % pada neonatus kurang bulan
3)      Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % per hari
4)      Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg %
5)      Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
6)      Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologi
b.      Ikterus Patologik
Disebut ikterus patologik bila :
1)      Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2)      kedua bilirubin indirek melampaui 10 mg % pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg % pada neonatus kurang bulan
3)      Kecepatan peningkatan kadar bilirubin melebihi 5 mg % per hari
4)      Ikterus menetap sesudah 2 pertamamg %
5)      Kadar bilirubin direk  melebihi 1 mg %
6)      Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi berat atau keadaan patologik lain yang telah diketahuikeadaan patologi
c.       kern-ikteus
adalah suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunanbilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kerusakan ini terjadi pada korpus striatus, thalamus, nucleus subtalamus, hypokampus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus ke IV.. Gejala Kern Ikterus pada permulaan kurang jelas, dapat berupa mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau makan, tonus otot meningkat, leher kaku dan akhirnya epistotonus (purnawan Junaidi, dkk, 1982 : 548)
2.      Etiologi
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi sebagai berikut :
a.       Produksi yang berlbihan yang melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya. Terdapat pada hemolisis yang meningkat  akibat inkompetibleitas golongan darah. (Rh,  ABO antagonis, atau defisiensi ensim G6PD)
b.      Gangguan pada proses pengambilan dan kenjugasi hepar dapat disebabkan oleh imaturasi hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, hypoksia, dan gangguan fungsi hepar dan infeksi
c.       Gangguan dalam transportasi. Untuk dapat diangkut ke hepar bilirubin diikat oleh albumin terlebih dahulu. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banayak bilirubin indirek bebas dalam darah yang mudah melekat pada otak
d.      Gangguan dalam sekresi dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar, akibat penyakit hepar bawaan, infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (ngastiyah, 1997 : 199)
3.      Patofisologi
·        Produksi berlebihan
·        Gangguan konjugasi hepar
·        Gangguan transportasi
·        Gangguan ekskeresi
Hyperbilirubinmia

 

Bil Indirek bebas dalam darah ­
 

Mudah melekat pada sel otak

 

Kerusakan otak (kernikterus)

 

Letargi
Kejang
Tak mau m,engisap
Tonus otot  ­
Epistotonus
Ikterus pada kulit
Gatal
Resiko gangguan integritas kulit
Resiko gangguan jalan nafas
Resiko kurang nutrisi
Resiko aspirasi
Bilirubin dalam darah terikat albumin

 

Defisiensi albumin
 

Defisiensi immunology

 

Resiko infeksi
4.      Penatalaksanaan
a.       mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital. Fenobarbitaal dapat bekerja sebagai enzim induser sehingga konjugasi dapat dipercepat
b.      menambah substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi sseperti pemberian albumin untuk mengikat bilirubin bebas
c.       Melakukan dekomposisi bilirubin dengan terapi sinar yang dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat. Terapi sinar mengubah senyawa 4 Z, 15 Z – bilirubin menjadi senyawa bentuk 4 Z, 15 E Bilirubin yang merupakan bentukisomer yang mudah larut dalam plasma sehingga mudah disekresi oleh hati kedalam empedu. Dari empedu dilepas ke usus untuk kemudian diskresi bersama faeses.
Photo terapi dilakukan pada keadaan :
1)      Kenaikan bilirubin indirek yang sangat cepat ( 0,4 mg/kg/jam), atau kadar bilirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi dalam keadaan hemolisis ditandai dengan ikterus pada hari I
2)      Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah tranfusi tukar
Photo terapi tidak dilakukan pada bayi dengan ganguan motilitas / peristaltic usus. (obstruksi, enteristis)
d.      Tranfusi tukar dengan indikasi :
1)      Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek kurang dari 20 mg %
2)      Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat ( 0,3 – 1 mg 5 / jam)
3)      Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda – tanda dekompensasi jantung
4)      Bayi dengan kadar Hb talipusat kurang dari 14 mg %, bilirubin lebih dari 5 mg % dan test coombs direk yang positif                                                                                                                                                                                                                                                            
  1. Pemgkajian Keperawatan
a.       Anamnese orang tua/keluarga
Ibu dengan rhesus ( – ) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis ( Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada sudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu , ikterus kemungkinan kaena pengaruh pregnanediol.
b.      Riwayat kelahiran
·    Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan merupakn predisposisi terjadinya infeksi
·    Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
·    Bayi dengan apgar score renddah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
·    Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
    1. Pemeriksaan fisik
1)      Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
2)      Kepala leher
·        Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih ( kuning)
·        Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
3)      Dada
·        Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas.
·        Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi
4)      Perut
·        Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik  tidak diindikasikan photo terapi.
·        Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat  gangguan metabolisme bilirubun enterohepatik
·        Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella
5)      Urogenital
·        Urine kuning dan pekat.
·        Adanya faeces yang pucat / acholis / seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran empedu
6)      Ekstremitas
Menunjukkan tonus otot yang lemah
7)      Kulit
·        Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun.
·        Perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
8)      Pemriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain – lainmenunjukkan adanya tanda – tanda kern – ikterus
    1. Pemerksaan Penunjang
1)     Darah : DL, Bilirubin > 10 mg %
2)     Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
3)     Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
4)     Screnning Ikterus melalui metode Kramer dll
5)     Skreening ikterus melalui matode kremer.
  1. Diagnosa Keperawatan
a.       Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi , imaturyti hati
b.      Gangguan integrritas kulit berhubungan dengan jaondase
c.       Perubahan temperatur tubuh berhubunga dengan phototerapi
d.      Perubahan volume cairan berhubungan dengan intake rendah dan efek fototerapi
e.       Resiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan kemampuan menghisap menurun
  1. Rencana intervensi
a.       Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
Tujuan ; Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi
Criteria hasil
1.      tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit
2.      Bayi terlindung dari sumber cahaya
Intervensi
1)      Lindungi mata bayi dengan penutup mata khusus
R/ menhindari kontak langsung mata dengan sinar
2)      Chek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)
R/ mencegah keterlambatan penanganan
3)      Letakkan bayi telanjang dibawah lampu dengan perlindungan mata dan kemaluan
R/ Pencahayaan maksimum dan merata serta organ vital terlindungi dari kerusakan
4)      monitor temperatur aksila
R/ pemaparan panas dengan sinar memungkinkan terjadinya ketidakstabilan suhu badan
5)      pastikan intake cairan adequate
R/ Pemaparan panas meningkatkan penguapan yang harus segera diganti dengan intake cairan
6)      jaga bersihan perianal
R/ Menekan resiko ieritasi kulit
    1. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adequate sekunder kemapuan menghisap turun
Tujuan : tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
Kriteria hasil
1)      Porsi minum habis
2)      BB naik
3)      Menghisap kuat
Intervensi
1)      berikan nutrisis secara adequate
2)      Berikan minum tepat waktu dan sesuai ukuran dan kebutuhan
R/ menganti cairan dan nutrisi yang hilang akibat terapi sinar
3)      observasi kemampuan menghisap
R/ pemasukan nutrisi adequate bila kemampuan mengisap baik
4)      Kpasang Sonde bila kemampuan mengisap turun
R/ mningkatkan intake melalui sonde karena gagal melalui mulut
5)      Timbang BB setiap hari
R/ memantau perkembangan kebutuhan nutrisi
6)      Kolaborasi ahli gizi
Referensi
1.                                Abdul Bari et all. 2001. Buku acuan Nasional Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro hardjo. Jakarta
2.                                Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta
3.                                Ngastiyah. 1997. Ilmu Keperawatan pada anak sakit. EGC. Jakarta.
4.                                Purnawan Junaidi et al. 1982. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke 2 . Media Aesculapius. Jakarta
5.                                Wongand Walley. 1990. Clinical Manual of pediatric Nursing. Third ediion. Mosby Compani. Philapidelpia
Laporan Kasus
Nama   : Muncul Wiyana
N I M : 010030174 B
Ruangan          : Neonatologi                                                  No. Reg.          :
Pengkajian       : Tanggal  15 -07 – 2002                                  Jam                  : 11.00 WIB
————————————————————————————————-
IDENTITAS
Nama                    : By Temu                   Tgl. MRS :  12 – 7 – 2002
Umur                    : 12 hari                       Diagnosa : NA + Ikterus Neonatorum
Jenis kelamin        : Laki
BB MRS              : 2700 mg        PB : 48 cm
Identitas orang tua
Nama Ayah          : Supriandono
Umur                    : 32 tahun
Pekerjaan              : Swasta
Nama Ibu             : Ny temu
Umur                    : 27 Tahun
Pekerjaan              : –
Agama                  : Islam
Suku/bangsa         : Jawa/Indonesia
Alamat                 : Pasar Bunga Kayun 35 – 36 Surabaya
Riwayat Keperawatan
1.      Keluhan Utama : Ikterus dan post sepsi
2.      Riwayat Keperawatan Sebelumnya
a.      Pre Natal  :  dan tidak pernah minum obat/jamu selain yang diberikan dokter. Selama hamil tidak pernah ada keluhan yang berarti dari kehamilannya
b.      Natal         : Lahir pada tanggal 12 Juli 2002 di IRD dengan SC. Letak lintang. Ketuban pecah dini 1 jam 27 menit sebelum bayi lahir dengan warna jernuh. Apgar Score 357, BBL = 2700 PB 48 cm, LK = 34 cm, LD = 31 cm. Lahir dengan aspiksia berat dn ikterus
c.      Post natal : bayi dikirm ke neonatology karena ikterus dan asfiksia berat.
3.      Riwaat keperawatan saat ini
Saat ini dalam perawatan diruang neonatology , sedang dalam terapi sinar. Reflek mengisap membaik, O2 terus terpasang 1 l/mnt,.Menangis kuat. Bayi masih kelihatan lemah. Kuning diseluruh tubuh masih kleihatan. Bayi dipasang infus D 10 % 250 cc/ 24 jam. Sementara dipuasakan
Pemeriksaan fisik
K/u lemah, reflek menggenggam lemah, reflek mengisap kuat, reflek menangis kuat, reflek moro ( +) Tonus otot cukup. Tanda vital : Nadi : 140 x/mnt, RR = 44 x/mnt, suhu = 36 ,7 C
Kepala
Rambut hitam, tipis, chepal hematom (- ) Caput sedanium (-), muka bentuk oval, simetris . Ikterus ( + )
Mata
Kemerahan (-) Iktrus (+) selama foto terapi mata ditutup dengan kaca mata hitam
Hidung
Skret ( – ) , gerakan cuping hidung ( – ), terpasang O2 pernasal
Mulut
Bibir merah, lidah bersih, cianosis ( -) . Mengisap ( minum)  kuat . Menangis kuat. Moniliasis ( – )
Telinga : Tak dijumpai kelainan
Leher: Tak ditemukan kelainan
Dada  : Bentuk simetris, Rhonci / wheezing ( – / – ). Retraksi (- ) , ikterus ( + ) kulit dada banyak mengelupas.
Abdomen
Talip usat belum kering, triplede diberikan ( + ) Kembung ( -)peristaltic ( +) gerakan seirama nafas, hepar tak teraba, ikterus ( + )
Genetalia
Tak ditemukan kelainan. Skrotum sudah turun, selam terapi sinar selalu di tutup dengan popok BAK kekuningan 5-6 x/hari
Rectum
Tak ditemukan kelainan.
Ekstremitas
Reflek menggenggam lemah, reflek moro ( +) Tonus otot cukup.Pergerakan lemah, iktrus ( + ). Akral hangat
Pemeriksaan neurologis
Kejang ( – ), epistotonus  ( – )
Integumen
Turgor cukup, kelelmbaban cukup, lesi ( – ) ikterus ( + ) kremer 3
Pemeriksaan Penunjang
       Hasil Laboratorium tgl 15 Juli 2002
Bilirubin total                  =  22 mg mg%
GDA                                = 70
Hb                                    = 18.4 mg %
Leukosit                           = 74000
SE                                    = 65
Gol Darah                        = O
CRP                                 = 0,6 ( negatif)
Tgl 16 Juli 2002
Bilirubin total                  = 18
Tgl 17 juli 2002
Bilirubin total                  = 14
Terapi yang diperoleh
Infus D 10 % 250 cc/24 jam
Sementara dipuasakan
O2 terpasang 1 ltr/mnt
Head up kepala
Fdoto terpi 24 jam
Termoregulasi
Meronem 3 x 30 mg iv


ANALISA DATA
NO
DATA
KEMUNGKINAN PENYEBAB
MASALAH
1.
S : –
O : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%
 mulai jam 00 WIB dilakukan foto terapi. Posisi terlentang. Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr.
Foto terapi
 

Pemajanan langsungpanas/sinar
 

Resiko Panas tubuh meningkat
Melebihi batas normal
Resiko tinggi perubahan suhu badan
2
S : –
O : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%
 mulai jam 00.00 WIB dilakukan foto terapi. Posisi terlentang.  Kedua mata ditutup dengan kaca mata hitam serta kemaluan di kenakan popok. Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr. Posisi tidakpernah dirubah selama foto terapi
Foto terapi
 

Pemajanan langsungpanas/sinar
 

Cedera mata/genetlia
Resiko injury
3
S ; –
O : : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%
Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr. Kulit dada tampak banyak mengelupas
Ikterus                    Phototerapi
(bil. Kult ­ )
 

Gatal                        kulit kering

 

Integritas berubah/rusak
Resiko kerusakan intgeritas kulit
4
S : –
O : Sementara dipuasakan. Infus d10% 250 cc/24 jam. Turgor cukup. Tx Photo terapi I sedang berjalan dimulai jam 00.00 . Suhu badan  36.7 C. Nadi 120 x/mnt
Foto terapi

 

Pemajanan langsungpanas/sinar
 

Peningkatan Penguapan
Kehilangan volume cairan berlebihan

 

Intake tidak seimbang (puasa)

 

Devisit volume cairan
Resiko devisit volume cairan tubuh
Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
2.      Resiko devisit volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan penguapan sekunder foto terapi
3.      Resiko perubahan suhu badan (Peningkatan suhu badan) berhubungan dengan  pemajanan sinar yang lama seknder foto terapi
4.      Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan denga peningkatan bilirubin dikulit dan efek foto terapi
Rencana Keperawatan
Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
Tujuan ; Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi
Criteria hasil
tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit
Organ vital bayi terlindung dari sumber cahaya
Intervensi
1)     Pertahankan proteksi mata dan genetalia dengan fiksasi yang memadai
R/ kontak langsung mata dangenetalia dengan sinar ultra violet dalam jangka panjang berakibat fatal
2)     Chek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)
R/ mencegah keterlambatan penanganan
3)     Pastikan lampu dalam kondisi siap pakai
R/ Keruakan lampu (pecah, strum meneybar ke box) dapat menimbulkan cedera baru pda bayi
4)      Observasi tadna vital   klien, tanda dehidrasi, tanda hypertermi
R/  peningkatan penguapan akibat pemaparan panas terus menerus dapat berakibat dehidrasi dan hypertermi
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemajanan sinar (panas) yang lama sekunder foto terapi
Tujuan : selama tindakan foto terapi tidak terjadi kekurangan cairan
Kriteria hasil
Tidak ada tanda dehidrasi
1    Turgor baik
1    Kelembaban kulit baik
1    Mata tidak cwong
1    Mukosa tidak kering
Rencana intervensi
1.      Observasi tanda dehidrasi setiap jam selama fototerapi
2.      Observasi tanda vital
3.      berikan minum PASI 8 x 40 cc/ 24 jam 9 k/p ekstra
4.      Observasi intake cairan dar infus. Pertahankan kelancaranannya
5.      Observasi output urine
Resiko Perubahan suhu tubuh ( Peningkatan suhu badan)  berhubungan dengan pemajanan panas yang lama sekunder foto terapi
Tujuan ; Perubahan suhu dalam batas normal
Criteria hasil
Suhu badan dalam batas 36.5 0C – 37.5 0 C
Intervensi
1)      Kontrol / obsevasi suhu badan setiap jam selama foto terapi berlangsung
R/ Perubahan suhu dapat terjadi dengan cepat akibat pemaparan sinar yang juga sebagi sumber panas.
2)      Ubah posisi bayi setiap 2 jam
R/ Pemajanan yang merata dan bergantian mengurangi resiko tidak efektifnya pusat suhu badan
3)      Hentikan/istirahatkan foto terapi bilashu diatas 38 C.
R/ Semakin lama pemajanan semakin tinggi kemungkinan perubahan suhu banan
4)      Kompres basah bila suhu meningkat
R/ Pemberian kompres mengurangi / sebagai media konduksi pembuangan panas
5)      Kolaborasi dokter bila panas tidak / sulit turun/ terlalu tinngi untuk mendapatkanantipiretik
IMPLEMENTASI
Dx
Tgl
Jam
Kegiatan
1,2
1,2,3
16/7/02
08.00
10.00
12.00
        Mengkaji gejala kardinal ( suhu 36 20 C, Nadi 124 x/mnt)
       Menyiapkan pemeriksaan bilirubin total ( H v/d B)
       Memberikan susu perspeen 40 cc habis
       Memberikan posisi terlentang
       Mengobservasi tanda dehidrasi
       Mempertahankan foto terapi
       Memperhatikan kelancaran cairan infus ( mengobservasi tetes infus)
       Mengobservasi tanda vital ( suhu 370 C, Nadi 128 x/mnt)
1.,2
17/7/02
13.30
15.00
        Mengkaji gejala kardinal ( suhu 37 20 C, Nadi 120 x/mnt)
       Memberikan susu perspeen
       Mengatur posisi klien tengkurap
       Memperhatikan dan menjaga kelancaran cairan infus
       Memandikan bayi
       Memberikan injeksi meronem
18/7/02
15.00
Memandikan bayi dan mengganti baju
Observasi gejala kardinal
Membrikan susu per sepeen
Melepas infus
Sementara foto terapi stop/istirahat
Catatan perkembangan ( Evaluasi )
Tgl 17/7/02
S    : –
O    : Suhu : 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt
A    : Tidak terjadi peningkatan suhu badan diatas normal
P    : planing dipertahankan
Tgl 17/7/02
S    : –
O    : suhu 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt, tanda iritasi mata dan perubahan /tanda injury tak ada
A    : Tidak terjadi injury selama foto terapi
P    : planing dipertahankan
Tgl 17/7/02
S    : –
·        Tak ditemukan tanda dehidrasi
·        Mukosa basah
·        Turgor cukup baik
·        Kelembaban cukup
·        BAK lancar 5 – 6 x/24 jam, tidak pekat, warna masih kuning
A    : Tidak terjadi dehidrasi selama foto terapi
P    : planing dipertahankan
Tgl 18/7/02
S    : –
O    : Suhu : 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt
A    : Tidak terjadi peningkatan suhu badan diatas normal
P    : planing dipertahankan
Tgl 18/7/02
S    : –
O    : suhu 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt, tanda iritasi mata dan perubahan /tanda injury tak ada
A    : Tidak terjadi injury selama foto terapi
P    : planing dipertahankan
Tgl 18/7/02
S    : –
·        Tak ditemukan tanda dehidrasi
·        Mukosa basah
·        Turgor cukup baik
·        Kelembaban cukup
·        BAK lancar 5 – 6 x/24 jam, tidak pekat, warna masih kuning
A    : Tidak terjadi dehidrasi selama foto terapi
P    : planing dipertahankan

ASKEP BBLR

Juniartha Semara Putra

ASKEP BBLR
DEFINISI
Bayi berat lahir rendah ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram  ( WHO, 1961 ). Berat badan pada kehamilan khusus apapun sangat berfariasi dan harus digambarkan pada grafik presentil. Bayi yang berat badannya diatas presentil 90 dinamakan besar untuk umur kehamilan dan yang di bawa presentil 10 dinamakan ringan  untuk umur krhamilan. Berdasarkan itu bahwa 10 % semua bayi ringan  untuk umur kehamilan. Bayi yang berat badannya kurang dari 2500 gr pada saat lahir di namakan berat badan lahir rendah
Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya bayi berat badan lahir rendah  di bedakan:
Ø Bayi berat lahir rendah , berat lahir 1500 – 2500  gram
Ø Bayi berat lahir sangat rendah, berat lahir kurang dari 1500 gram
Ø Bayi berat lahir eksterem, Berat lahir kurang dari 1000 gram
ETIOLOGI
Bayi berat lahir rendah mungkin prematur ( kurang bulan ) mungkin juga cukup bulan ( dismatur ).
PREMATUR MURNI
Prematur murni adalah neonatus dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan yang sesuai dengan masa kehamillan atau disebut juga neonatus preterm / BBLR / SMK.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Persalinan Prematur atau BBLR adalah
1. Faktor Ibu
   * Riwayat kelahiran prematur sebelumnya
   *  Gizi saat hamil kurang
   *  Umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun
   *  Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
   * Penyakit menahun ibu  : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah (perokok)
   * Perdarahan antepartum, kelainan uterus, Hidramnion
   * Faktor pekerja terlalu berat
   * Primigravida
   * Ibu muda (<20 tahun)
2. Faktor kehamilan
    Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum, komplikasi hamil seprti preeklamsia, eklamsi, ketuban pecah dini
3. Faktor janin
     Cacat bawaan, infeksi dalam rahim dan kehamilan ganda., anomali kongenital
4. Faktor kebiasaan : Pekerjaan yang melelahkan, merokok
5. Faktor yang masih belum diketahui.
Karakteristik yang dapat ditemukan pada prematur murni adalah :
1.      Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm, lingkar                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               kepala kurang dari 33 cm lingkar dada kurang dari 30 cm
2.      Gerakan kurang aktif otot masih hipotonis
3.      Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
4.      Kepala lebih besar  dari badan rambut tipis dan halus 
5.      Tulang tulang  tengkorak lunak, fontanela besar dan sutura besar
6.      Telinga sedikit tulang rawannya dan berbentuk sederhana
7.      Jaringan payudara tidak ada dan puting susu kecil
8.      Pernapasan belum teratur dan sering mengalami serangan apnu
9.      Kulit tipis dan transparan, lanugo (bulu halus) banyak terutama pada dahi dan pelipis dahi dan lengan
10.  Lemak subkutan kurang
11.  Genetalia belum sempurna , pada wanita labia minora belum tertutup oleh labia mayora
12.  Reflek menghisap dan menelan serta reflek batuk masih lemah
      Bayi prematur mudah sekali mengalami infeksi karena daya tahan tubuh masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna . Oleh karena itu tindakan prefentif sudah dilakukan sejak antenatal sehingga tidak terjadi persalinan dengan prematuritas (BBLR)

DISMATUR

Dismatur (IUGR) adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa kehamilan dikarenakan mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan .
Menurut Renfield (1975) IUGR dibedakan menjadi dua yaitu
1. Proportionate IUGR
    Janin yang menderita distres yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan bulan sebelum bayi lahir sehingga berat,panjang dada lingkaran kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih dibawah masa gestasi yang sebenarnya. Bayi ini tidak menunjukkan adanya Wasted oleh karena retardasi pada janin terjadi sebelum terbentuknya adipose tissue
2. Disporpotionate IUGR
   Trejadi karena distres subakut gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sampai janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkar kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak Wasted dengan tanda tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit , kulit kering keriput dan mudah diangkat bayi kelihatan kurus dan lebih panjang

Faktor Faktor yang mempengaruhi BBLR pada Dismatur

1. Faktor ibu :  Hipertensi dan penyakit ginjal kronik, perokok, pendrita penyakit diabetes militus yang berat, toksemia, hipoksia ibu, (tinggal didaerah pegunungan , hemoglobinopati, penyakit paru kronik ) gizi buruk, Drug abbuse, peminum alkohol
1.  Faktor utery dan plasenta :  Kelainan pembuluh darah, (hemangioma) insersi tali pusat yang tidak normal, uterus bicornis, infak plasenta, tranfusi dari kembar yang satu kekembar yang lain, sebagian plasenta lepas
3. Faktor janin : Gemelli, kelainan kromosom, cacat bawaan, infeksi dalam kandungan,  (toxoplasmosis, rubella, sitomegalo virus, herpez, sifillis)
4.      Penyebab lain :Keadaan sosial ekonomi  yang rendah, tidak diketahui

PENATALAKSANAN

Dengan memperhatikan gambaran klinik dan berbagai kemungkinanan yang dapat terjadi pada bayi prematuritas maka perawatan dan pengawasan ditujukan pada pengaturan suhu , pemebrian makanan bayi, Ikterus , pernapasan, hipoglikemi dan menghindari infeksi
1.   Pengaturan suhu badan bayi prematuritas /BBLR.
      Bayi prematur dengan cepat akan kehilangan panas badan dan menjadi hipotermi karena pusat pengaturasn panas belum berfungsi dengan baik metabolisme rendah  dan permukaan badan relatif luas oleh karena itu bayi prematuritas harus dirawat dalam inkubator  sehingga panas badannya mendekati dalam rahim , apabila tidak ada inkubator bayi dapat dibungkus dengan kain dan disampingnya ditaruh botol berisi air panas sehingga panas badannya dapat dipertahhankan.
2.   Makanan bayi premtur.
      Alat pencernaan bayi belum sempurna lambung kecil enzim pencrnaan belum matang sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kg BB dan kalori 110 kal;/kgBB sehingga pertumbuhan dapat meningkat. Pemberian minumbayi sekitar 3 jam setelahn lahir dan didahului derngan menghisap cairan lambung , reflek masih lemah sehingga pemberian minum sebaiknya sedikit demi sesikit dengan frekwensi yang lebih sering. Asi merupakan makanan yasng paling utama sehingga ASI lah ynag paling dahulu diberikan, bila faktor menghisapnya kurang maka ASI dapat diperas dan diberikan dengan sendok perlahan lahan atau dengan memasang sonde. Permulaan cairan yang diberikan 50- 60 cc/kgBB/hari terus dinaikan sampai mencapai sekitar 200 cc/kfBB/hari
3.   Ikterus
      Semua bayi prematur menjadi ikterus karena sistem enzim hatinya belum matur dan bilirubin tak berkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien sampai 4-5 hari  berlalu . Ikterus dapat diperberat oleh polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hperbiliirubinemia dapat menyebabkan kernikterus maka warna bayi harus sering dicatat dan bilirubin diperiksa  bila ikterus muncul dini atau lebih cepat bertambah coklat
4.   pernapasan
      Bayi prematur mungkin menderita penyakit membran hialin. Pada penyakit ini tanda- tanda gawat pernaasan sealu ada dalam 4 jam  bayi harus dirawat terlentang atau tengkurap dalam inkubator  dada abdomen harus dipaparkan untuk mengobserfasi usaha pernapasan
5. Hipoglikemi
    Mungkin paling timbul pada bayi prematur yang sakit bayi berberat badan lahir rendah, harus diantisipasi sebelum gejala timbul dengan pemeriksaan gula darah secara teratur
6.    Menghindari Infeksi
      Bayi prematuritas mudah sekali mengalami infeksi karena daya tahan tubuh masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna . Oleh karena itu tindakan prefentif sudah dilakukan sejak antenatal sehingga tidak terjadi persalinan dengan prematuritas (BBLR)

PROGNOSA

Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari berat ringannya masalah perinatal misalnya masa gestasi ( makin muda masa gestasi / makin rendah berat bayi , makin tinggi  angka kematian ) , asfiksia/iskemia otak , sindroma gangguan pernapasan , perdarahan interafentrikuler , displasia bronkopulmonal, retrolental fibroplasia, infeksi, gangguan metabolik (asidosis, hipoglikemi, hiperbilirubinemia). Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan persalinan dan pos natal (pengaturan suhun lingkungan, resusitasi, nutrisi, mencegah infeksi, mengatasi gangguan pernapasan, asfiksia hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan lain – lain )

Pengamatan Lebih Lanjut

Bila bayi berat lahir rendah dapat mengatasi problematik yang dideritanya  perlu diamati selanjutnya oleh karena kemungkinan bayi ini akan mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, kognitif, fungsi motor susunan saraf pusat dan penyakit penyakit seperti Hidrosefalus, Cerebral palsy dan sebagainya

 

 

Asuhan Keperawatan Pada Neonatus dengan BBLR

Pengkajian
1.        Data Subyektif
Data subyektif adalah persepsi dan sensasi klien tentang masalah kesehatan (Allen Carol V. 1993 : 28).
Data subyektif terdiri dari
Biodata atau identitas pasien :
Bayi meliputi nama tempat tanggal lahir jenis kelamin
Orangtua meliputi : nama (ayah dan ibu, umur, agama, suku atau kebangsaan, pendidikan, penghasilan pekerjaan, dan alamat (TalbottLaura A, 1997 : 6).
Riwayat kesehatan
Riwayat antenatalyang perlu dikaji atau diketahui dari riwayat antenatal pada kasus BBLR yaitu:
Keadaan ibu selama hamil dengan anemia, hipertensi, gizi buruk, merokok ketergantungan obat-obatan atau dengan penyakit seperti diabetes mellitus, kardiovaskuler dan paru.
Kehamilan dengan resiko persalinan preterm misalnya kelahiran multiple, kelainan kongenital, riwayat persalinan preterm.
Pemeriksaan kehamilan yang tidak kontinyuitas atau periksa tetapi tidak teratur dan periksa kehamilan tidak pada petugas kesehatan.
Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan usia kehamilan (kehamilan postdate atau preterm).
Riwayat natal komplikasi persalinan juga mempunyai kaitan yang sangat erat dengan permasalahan pada bayi baru lahir. Yang perlu dikaji :
Kala I : perdarahan antepartum baik solusio plasenta maupun plasenta previa.
Kala II : Persalinan dengan tindakan bedah caesar, karena pemakaian obat penenang (narkose) yang dapat menekan sistem pusat pernafasan.
Riwayat post natal
Yang perlu dikaji antara lain :
Agar score bayi baru lahir 1 menit pertama dan 5 menit kedua AS (0-3) asfiksia berat, AS (4-6) asfiksia sedang, AS (7-10) asfiksia ringan.
Berat badan lahir : Preterm/BBLR < 2500 gram, untu aterm ³2500 gram lingkar kepala kurang atau lebih dari normal (34-36 cm).
Adanya kelainan kongenital : Anencephal, hirocephalus anetrecial aesofagal.
Pola nutrisi
Yang perlu dikaji pada bayi dengan BBLR gangguan absorbsi gastrointentinal, muntah aspirasi, kelemahan menghisap sehingga perlu diberikan cairan parentral atau personde sesuai dengan kondisi bayi untuk mencukupi kebutuhan elektrolit, cairan, kalori dan juga untuk mengkoreksi dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemi disamping untuk pemberian obat intravena.
Kebutuhan parenteral
Bayi BBLR < 1500 gram menggunakan D5%
Bayi BBLR > 1500 gram menggunakan D10%
Kebutuhan nutrisi enteral
BB < 1250 gram = 24 kali per 24 jam
BB 1250-< 2000 gram = 12 kali per 24 jam
BB > 2000 gram = 8 kali per 24 jam
Kebutuhan minum pada neonatus :
Hari ke 1 = 50-60 cc/kg BB/hari
Hari ke 2 = 90 cc/kg BB/hari
Hari ke 3 = 120 cc/kg BB/hari
Hari ke 4 = 150 cc/kg BB/hari
Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 – 200 cc/kg BB/hari
(Iskandar Wahidiyat, 1991 :1)
Pola eliminasi
Yang perlu dikaji pada neonatus adalah
BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
BAK : frekwensi, jumlah
Latar belakang sosial budaya
Kebudayaan yang berpengaruh terhadap BBLR kebiasaan ibu merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu terutama jenis psikotropika
Kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol, kebiasaan ibu melakukan diet ketat atau pantang makanan tertentu.
Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung dengan ibu jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna sekali dimana bayi akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta dapat mempererat hubungan psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya dengan BBLR karena memerlukan perawatan yang intensif
2.        Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan pemeriksaan dengan menggunakan standart yang diakui atau berlaku (Effendi Nasrul, 1995)
Keadaan umum
Pada neonatus dengan BBLR, keadaannya lemah dan hanya merintih. Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari responnya terhadap rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukkan kondisi neonatus yang baik.
Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan asfiksia benar, tepat dan cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya hipothermi bila suhu tubuh < 36 °C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu tubuh < 37 °C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5°C – 37,5°C, nadi normal antara 120-140 kali per menit respirasi normal antara 40-60 kali permenit, sering pada bayi post asfiksia berat pernafasan belum teratur (Potter Patricia A, 1996 : 87).
Pemeriksaan fisik adalah melakukan pemeriksaan fisik pasien untuk menentukan kesehatan pasien (Effendi Nasrul, 1995).
Kulit
Warna kulit tubuh merah, sedangkan ekstrimitas berwarna biru, pada bayi preterm terdapat lanugo dan verniks.
Kepala
Kemungkinan ditemukan caput succedaneum atau cephal haematom, ubun-ubun besar cekung atau cembung kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Mata
Warna conjunctiva anemis atau tidak anemis, tidak ada bleeding conjunctiva, warna sklera tidak kuning, pupil menunjukkan refleksi terhadap cahaya.
Hidung
terdapat pernafasan cuping hidung dan terdapat penumpukan lendir.
Mulut
Bibir berwarna pucat ataupun merah, ada lendir atau tidak.
Telinga
Perhatikan kebersihannya dan adanya kelainan
Leher
Perhatikan kebersihannya karena leher nenoatus pendek
Thorax
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara wheezing dan ronchi, frekwensi bunyi jantung lebih dari 100 kali per menit.
Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1 – 2 cm dibawah  arcus costaae     pada garis papila  mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti adanya asites atau tumor, perut cekung adanya hernia diafragma, bising usus timbul 1 sampai 2 jam setelah masa kelahiran bayi, sering terdapat retensi karena GI Tract belum sempurna.
Umbilikus
Tali pusat layu, perhatikan ada pendarahan atau tidak, adanya tanda – tanda infeksi pada tali pusat.
Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak muara uretra pada neonatus laki – laki, neonatus perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya sekresi mucus keputihan, kadang perdarahan.
Anus
Perhatiakan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta warna dari faeses.
Ekstremitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya patah tulang atau adanya kelumpuhan syaraf atau keadaan jari-jari tangan serta jumlahnya.
Refleks
Pada neonatus preterm post asfiksia berat reflek moro dan sucking lemah. Reflek moro dapat memberi keterangan mengenai keadaan susunan syaraf pusat atau adanya patah tulang (Iskandar Wahidiyat, 1991 : 155 dan Potter Patricia A, 1996 : 109-356).
3. Data Penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
Darah : GDA > 20 mg/dl, test kematangan paru, CRP, Hb dan Bilirubin : > 10 mg/dl
 Analisa Data dan Perumusan Masalah

Sign / Symptorn

Kemungkinan Penyebab
Masalah
1.       Pernafasan tidak teratur, pernafasan cuping hidung,  cyanosis, ada lendir pada hidung dan mulut, tarikan inter-costal, abnormalitas gas darah arteri.
Produksi surfactan yang belum optimal
Gangguan pertukaran gas
2.Akral dingin,  cyanosis pada ekstremmitas, keadaan umum lemah, suhu tubuh dibawah   normal
–     lapisan lemak dalam kulit tipis
Resiko terjadinya hipotermia
3.Keadaan umum  lemah, reflek menghisap lemah, masih terdapat retensi  pada sonde
–     Reflek  menghisap  lemah
Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
4.Suhu tubuh diatas normal, tali pusat   layu, ada tanda-tanda infeksi, abnormal kadar leukosit, kulit kuning, riwayat persalinan dengan ketuban mekoncal
–    Sistem Imunitas yang belum sempurna
–     Ketuban mekonial
– Adanya tali pusat yang belum kering
Resiko terjadinya infeksi
5.Akral dingin
Ekstremitas pucat, cyanosis, hipotermi, distrostik rendah atau dibawah harga  normal.
–     Metabolisme meningkat
–     Intake yang kurang.
Resiko terjadinya hipoglikemia
6.Bayi dirawat di dalam inkubator di ruang intensif, belum ada kontak antara ibu dan bayi
Perawatan intensif
Gangguan hubungan interpersonal antara ibu dan bayi.
Diagnosa Keperawatan
           Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada neonatus dengan BBLR antara lain:
  1. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan produksi surfactan yang belum optimal.
2.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan reflek menghisap lemah.
  1. Resiko terjadinya hipoglikemia b/d meningkatnya metabolisme tubuh neonatus
  2. Resiko terjadinya hipotermia b/d lapisan lemak kulit yang tipis
  3. Resiko terjadinya infeksi b/d tali pusat yang belum kering, imunitasyang belum sempurna, ketuban meconial
6.      Gangguan hubungan interpersonal antara ibu dan bayi sehubungan dengan rawat terpisah.
Asuhan Keperawatan pada Neonatus dengan BBLR

No

Diagnosa Perawatan
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Rasional
1
Gangguan pertukaran gasb/d produksi surfactan yang belum optimal
Tujuan:
Kebutuhan O2 bayi terpenuhi
Kriteria:
–     Pernafasan normal 40-60 kali permenit.
–     Pernafasan teratur.
–     Tidak cyanosis.
–    Wajah dan seluruh tubuh
1.  Letakkan bayi terlentang dengan alas yang data, kepala lurus, dan leher sedikit tengadah/ekstensi dengan meletakkan bantal atau selimut diatas bahu bayi sehingga bahu terangkat 2-3 cm
1.   Memberi rasa nyaman dan mengantisipasi flexi leher yang dapat mengurangi  kelancaran jalan nafas.
      Berwarna kemerahan (pink variable).
–     Gas darah normal
      PH = 7,35 – 7,45
      PCO2 = 35 mm Hg
      PO2 = 50 – 90 mmHg     
2.   Bersihkan jalan nafas, mulut, hidung bila perlu.
2.   Jalan nafas harus tetap dipertahankan bebas dari lendir untuk menjamin pertukaran gas yang sempurna.
3.   Observasi gejala kardinal dan tanda-tanda cyanosis tiap 4 jam
3.   Deteksi dini adanya kelainan.
3.      Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian O2 dan pemeriksaan kadar gas darah arteri
4.   Mencegah terjadinya hipoglikemia
2.
Resiko terjadinya hipotermi b/d lapisan lemak pada kulit yang masih tipis
Tujuan
Tidak terjadi hipotermia
Kriteria
Suhu tubuh 36,5 – 37,5°C
Akral hangat
Warna seluruh tubuh kemerahan
.     Letakkan bayi terlentang diatas pemancar panas (infant warmer
1.   Mengurangi kehilangan panas pada suhu lingkungan sehingga meletakkan bayi menjadi hangat
      2. Singkirkan kain yang sudah dipakai untuk mengeringkan tubuh, letakkan bayi diatas tubuh, letakkan bayi diatas handuk / kain yang kering dan hangat.
.     Mencegah kehilangan tubuh melalui konduksi.
3.Observasi suhu bayi tiap 6 jam.
3.   Perubahan suhu tubuh bayi dapat  menentukan tingkat hipotermia
4.   Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian Infus Glukosa 5% bila ASI tidak mungkin diberikan.
4.   Mencegah terjadinya hipoglikemia
3.
Resiko gangguan penemuan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan reflek menghisap lemah.
Tujuan:Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria
–     Bayi dapat minum pespeen / personde dengan baik.
1.   Lakukan observasi BAB dan  BAK jumlah dan frekuensi serta konsistensi.
1.   Deteksi adanya kelainan pada  eliminasi bayi dan segera mendapat tindakan / perawatan yang tepat.
–     Berat badan tidak turun lebih dari 10%.
–     Retensi tidak ada.
2.   Monitor turgor dan mukosa mulut.
2.   Menentukan derajat dehidrasi dari turgor dan mukosa mulut.
3.  Monitor intake dan out put.
3.   Mengetahui keseimbangan cairan tubuh (balance)
4.  Beri ASI/PASI sesuai kebutuhan.
4.   Kebutuhan nutrisi terpenuhi secara adekuat.
5.   Lakukan control berat badan setiap hari.
5.   Penambahan dan penurunan berat badan dapat di  monito
5.   Lakukan control berat badan setiap hari.
5.   Penambahan dan penurunan berat badan dapat di  monito
4.
Resiko terjadinya infeksi
Tujuan:
Selama perawatan tidak terjadi komplikasi (infeksi)
Kriteria
1.   Lakukan teknik aseptik dan antiseptik dalam memberikan asuhan keperawatan
1.   Pada bayi baru lahir daya tahan tubuhnya kurang / rendah.
–     Tidak ada tanda-tanda infeksi.
–     Tidak ada gangguan fungsi tubuh.
2.   Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
2.   Mencegah penyebaran infeksi nosokomial.
3.  Pakai baju khusus/ short waktu masuk ruang isolasi (kamar bayi)
3.   Mencegah masuknya bakteri dari baju petugas ke bayi
4.  Lakukan perawatan  tali pusat dengan triple dye 2 kali sehari.
4.   Mencegah terjadinya infeksi dan memper-cepat pengeringan tali pusat karena  mengan-dung anti biotik, anti jamur, desinfektan.
5.   Jaga  kebersihan (badan, pakaian) dan  lingkungan bayi.
5.   Mengurangi media untuk pertumbuhan kuman.
6.   Observasi tanda-tanda infeksi dan gejala kardinal
6.   Deteksi dini adanya kelainan
7.  Hindarkan bayi kontak dengan sakit.
7.   Mencegah terjadinya penularan infeksi.
8.  Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian antibiotik.
8.   Mencegah infeksi dari pneumonia
9.  Siapkan pemeriksaan laboratorat  sesuai advis dokter yaitu pemeriksaan DL, CRP.
9.   Sebagai pemeriksaan penunjang
5.
Resiko terjadinya hipoglikemia sehubungan dengan metabolisme yang meningkat
Tujuan:
Tidak terjadi  hipoglikemia selama masa perawatan.
Kriteria
–     Akral hangat
–     Tidak cyanosis
–     Tidak apnea
–     Suhu normal (36,5°C -37,5°C)
1.   Berikan nutrisi secara adekuat dan catat serta monitor setiap pemberian nutrisi.
1.   Mencega pembakaran glikogen dalam tubuh dan untuk pemantauan intake dan out put.
–     Distrostik normal
      (> 40 mg)
2.   beri selimut dan bungkus bayi serta perhatikan suhu lingkungan
2.   Menjaga kehangatan agar tidak terjadi proses pengeluaran suhu yang berlebihan sedangkan suhu lingkungan berpengaruh pada suhu bayi.
3.   Observasi gejala kardinal (suhu, nadi, respirasi)
3.   Deteksi dini adanya kelainan.
4.   Kolaborasi dengan team medis untuk pemeriksaan laborat yaitu distrostik.
4.   Untuk mencegah terjadinya  hipoglikemia lebih lanjut dan kompli-kasi yang ditimbulkan pada organ – organ tubuh yang lain.
6.
Gangguan hubungan  interpersonal antara bayi dan ibu sehubungan dengan perawatan intensif.
Tujuan :
Terjadinya hubungan batin antara bayi dan ibu.
1.   Jelaskan para ibu / keluarga tentang keadaan bayinya sekarang.
1.   Ibu mengerti keadaan bayinya dan mengura-ngi kecemasan serta untuk kooperatifan ibu/keluarga.
Kriteria:
–     Ibu dapat segera menggendong dan meneteki bayi.
2.   Bantu orang tua / ibu mengungkapkan perasaannya.
2.   Membantu memecah-kan permasalahan yang dihadapi.
–     Bayi segera pulang dan ibu dapat merawat  bayinya sendiri.
3.   Orientasi ibu pada lingkungan rumah sakit.
3.   Ketidaktahuan memperbesar stressor.
4.   Tunjukkan bayi pada saat ibu berkunjung (batasi oleh kaca pembatas).                    
4.   Menjalin kontak batin antara ibu dan bayi walaupun hanya melalui kaca pembatas.
5.   Lakukan rawat gabung jika keadaan ibu dan bayi jika keadaan bayi memungkinkan.
5.   Rawat gabung merupakan upaya mempererat hubungan ibu dan bayi/setelah bayi diperbolehkan pulang.


Tahap Pelaksanaan Tindakan
                  Tindakan keperawatan adalah pelaksanaan asuhan keperawatan yang merupakan realisasi rencana tindakan yang telah ditentukan dalam tahap perencanaan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal (Santosa NI, 1995).
Tahap Evaluasi
                  Evaluasi adalah merupakan langkah akhir dari proses keperawatan yaitu proses penilaian pencapaian tujuan dalam rencana perawatan, tercapai atau tidak serta untuk pengkajian ulang rencana keperawatan (Santosa NI, 1995). Evaluasi dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan petugas kesehatan yang lain. Dalam menentukan tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan pada bayi dengan post Asfiksia sedang, disesuaikan dengan kriteria evaluasi yang telah ditentukan. Tujuan asuhan keperawatan dikatakan berhasil bila diagnosa keperawatan didapatkan hasil yang sesuai dengan kriteria evaluasi.
BAB 4
PEMBAHASAN
Bab ini akan disajikan tentang kesenjangan antara bab 2 dan bab 3, dengan prinsip pendekatan proses perawatan antara lain:
Pengkajian
Pada bab tinjauan teori penkajian ditekankan pada adanya perubahan suhu, nutrisi, interitas kulit, dan resiko infeksi. Sedangkan pada tinjauan kasus pengkajian yang didapat adalah adanya perubahan resiko perubahan suhu, kurangnya kebutuhan nutrisi, infeksi dan keadaan integritas kulit.
Diagnosa Keperawatan
Pada tinjauan teori di dapatkan enam diagnosa keperawatan yakni :gangguan pertukaran gas, gangguan pemenuhan nutrisi, resiko terjadi hipoglikemia, resiko terjadi hipotermia, resiko terjadi infeksi dan gangguan hubungan interpersonal antara ibu dan bayi. Sedangkan pada kasus nyata penyusun hanya mendapatkan 4 diagnosa dari klien yakni : gangguan nutrisi, gangguan integritas kulit, resiko hipotermia, dan resiko terjadi infeksi.
Rencana Keperawatan
Pada tinjauan teori  rencana keperawatan ditekankan pada nutrisi , termoregulator / lingkungan yang nyaman, dan pelasanaan tindakan septik dan aseptik. Pada tinjauan kasus rencana keperawatan juga ditekankan pada hal tersebut di atas.
Tindakan Keperawatan
Seperti halnya dengan intervensi yang direncanakan pada tinjauan teori, tindakan keperawatan yang dilakukan baik dalan tinjauan teori dan tinjauan kasus adalah nutrisi , termoregulator / lingkungan yang nyaman, dan pelasanaan tindakan septik dan aseptik.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi pada tinjauan kasus ditekankan pada tiap – tiap diagnosa sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan yangtercantum pada tujuan rencana keperawatan. Memang pencapaian tujuan pada bayi dengan BBLR ini harus benar- benar prosedural .
BAB 5
PENUTUP
5.1    Kesimpulan
Setelah membahas mengenai uraian asuhan keperawatan pada neonatus dengan BBLR, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Dalam melakukan pengkajian pada neonatus dengan BBLR ditekankan pada ditekankan pada adanya perubahan suhu, nutrisi, interitas kulit, dan resiko infeksi
  2. Dalam perencanaan perlu dituliskan target waktu target waktu yang digunakan dalam pelaksanan intervensi disesuaikan dengan keadaan tempat praktek yakni di ruang neonatus sehingga  kurang maksimal.
  3. Dalam melakukan pengkajian  dan implementasi keperawatan, perawat harus benar-benar prosedural dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi neonatus mengingat bayi BBLR terjadi imaturitas organ.
  4. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada adanya perubahan suhu, nutrisi, interitas kulit, dan resiko infeksi
5.2        Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas kami memberanikan diri untuk memberikan saran sebagai berikut:
  1. Dalam memberikan pelayanan keperawatan tidak boleh membeda-bedakan status klien.
  2. Dalam melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan perlu adanya pendekatan dengan klien yaitu; menjalin hubungan saling percaya sehingga klien mau mengungkapkan apa yang dirasakan dan masalah keperawatan yang dihadapi dapat teratasi.
  3. Untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan khususnya pada kasus Bronchitis alergia diruang neonatus hendaknya perawat meningkatkan pengetahuan tentang masalah BBLR
4.   Dalam melakukan pengkajian pada klien dengan neonatus dengan BBLR perawat diharuskan memiliki sikap sabar, sopan, teliti, cermat, mempunyai pengetahuan, wawasan yang luas dan ketrampilan yang memadai.
  1.  


ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BARU LAHIR YANG SAKIT

Juniartha Semara Putra

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI BARU LAHIR YANG SAKIT
PENDAHULUAN
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal proses fisiologik sebagai berikut :
1.      Peredaran darah melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk bernafas (pertukaran oksigen dengan karbondioksida)
2.      Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan
3.      Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh untuk mempertahankan homeostasis kimia darah
4.      Hati berfungsi untuk menetralisasi dan mengekresi bahan racun yang tidak diperlukan badan
5.      Sistem imunologik berfungsi untuk mencegah infeksi
6.      Sistem kardiovaskular serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi organ tersebut diatas
Banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas, kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan maupun sesudah lahir.
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil.
Untuk mampu mewujudkan koordinasi dan standar pelayanan yang berkualitas maka petugas kesehatan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan pelayanan essensial neonatal yang dikategorikan dalam dua kelompok yaitu :
A.    Pelayanan Dasar
  1. Persalinan aman dan bersih
  2. Mempertahankan suhu tubuh dan mencegah hiportermia
  3. Mempertahankan pernafasan spontan
  4. ASI Ekslusif
  5. Perawatan mata
B.     Pelayanan Khusus
  1. Tatalaksana Bayi Neonatus sakit
  2. Perawatan bayi kurang bulan dan BBLR
  3. Imunisasi
Makalah ini akan membahas asuhan keperawatan bayi baru lahir yang sakit. Mengingat luasnya bahasan maka pembahasan akan difokuskan kepada masalah ikterus & hiperbilirubinemia, neonatus dengan ibu DM, neonatus prematur, hipertermia dan hipotermia. Selain itu juga dikaji respon keluarga terhadap neonatus yang sakit serta hubungan tumbuh kembang neonatus terhadap penyakit secara umum.

 

 

EFEK SAKIT PADA NEONATUS

Fase neonatus adalah fase yang sangat rawan akan hubungan ibu dan bayi. Karena kegagalan relasi pada masa ini akan memberi dampak pada tahap berikutnya. Kebutuhan psikologi fase ini melipurti tiga hal penting yaitu seeing (memandang), touching (sentuhan), dan caretaking (merawat dengan perhatian seluruh emosinya). Dengan demikian kesempatan ibu kontak mata dan menyentuh serta melakukan sendiri dalam mengganti popok adalah menjadi prioritas dalam intervensi perawat.
Penyakit atau kecacatan pada anak mempengaruhi terbinanya hubungan saling percaya antara anak dengan orangtua. Penyakit pada anak dapat membuat harapan orangtua menurun, penyakit sering mengakibatkan gangguan dalam kemampuan motorik anak, keterbatasan gerak di tempat tidur dan berkurangnya kontak bayi dengan lingkungan. Intervensi keperawatan sangat penting untuk membantu keluarga dalam menghadapi bayi yang sakit. Keberadaan perawat yang selalu siap membantu sangat penting untuk menenangkan orangtua terhadap rasa ketidak berdayaannya.

 

REAKSI EMOSIONAL PENERIMAAN KELUARGA

Pada neonatus yang menderita sakit, maka keluarga akan merasa cemas, tidak berdaya, dan lain sebagainya yang merupakan reaksi keluarga terhadap kenyataan bahwa bayinya menderita suatu penyakit. Berikut adalah reaksi emosional penerimaan keluarga terhadap neonatus sakit dan bagaimana perawat mengatasi hal tersebut :
1.      Denial
Respon perawat terhadap penolakan adalah komponen untuk kebutuhan individu yang kontinyu sebagai mekanisme pertahanan. Dukungan metode efektif adalah mendengarkan secara aktif. Diam atau tidak ada reinforcement bukanlah suatu penolakan. Diam dapat diinterpretasikan salah, keefektifan diam dan mendengar haruslah sejalan dengan konsentrasi fisik dan mental. Penggunaan bahasa tubuh dalam berkomunikasi harus concern. Kontak mata, sentuhan, postur tubuh, cara duduk dapat digunakan saat diam sehingga komunikasi berjalan efektif.
2.      Rasa bersalah
Perasaan bersalah adalah respon biasa dan dapat menyebabkan kecemasan keluarga. Mereka sering mengatakan bahwa merekalah yang menjadi penyebab bayinya mengalami kondisi sakit. Amati ekspresi bersalah, dimana ekspresi tersebut akan membuat mereka lebih terbuka untuk menyatakan perasaannya.
3.      Marah
Marah adalah suatu reaksi yang sulit diterima dan sulit ditangani secara therapeutik. Aturan dasar untuk menolak marah seseorang adalah hindari gagalnya kemarahan dan dorong untuk marah secara assertif.

 

HIPERBILIRUBINEMIA

Definisi :
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5 mg/dl pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urine.
Etiologi:
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma, perdarahan subaponeoratik) atau inkompatabilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia : keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan acidosis, hipoglikemia dan polisitemia.

Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan acidosis atau dengan hipoksia/anoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gagguan konjugasi hepar (defisiensi enszim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada sususnan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

Tabel.1 Perbandingan Tipe Unconjungatif Hyperbilirubinemia

Fisiologis jaundice
Jaundice yang berhubungan dengan Breast feeding
Jaundice Breast milk
Hemolitik desease

Penyebab

Fungsi hepatik immatur ditambah peningkatan bilirubin dari hemolisis RBC
Intake susu yang jelek berhubungan dengan konsumsi kalori yang sedikit pada bayi sebelum susu ibu keluar
Faktor-faktor pada susu ibu yang berubah, bilirubin menjadi bentuk lemak yang mana direabsorbsi usus
Incompatibilitas antigen yang menyebabkan hemolisis sebagian dari RBC.
Hati tidak mampu untuk mengkonjugasikan dan mengeksresikan kelebihan bilirubin dari hemolisis

Onset

Setelah 24 jam pertama (bayi prematur, bayi lahir lama)
2 – 3 hari
4 – 5 hari
Selama 24 jam pertama
Puncak
72 jam
2 – 3 hari
10 – 15 hari
Bervariasi
Durasi
Berkurang setelah 5-7 hari
Sampai seminggu
Terapi
Fototherapi jika bilirubin meningkat dengan cepat
Berikan ASI sesering mungkin, berikan suplemen kalori, fototherapi untuk kadar bilirubin 18 – 20 mg/dl
Hentikan ASI selama 24 jam untuk mendeterminasi sebab, jika kadar bilirubin menurun pemberian ASI dapat diulangi.
Dapat dilakukan fototherapi tanpa menghentikan pemberian ASI
Posnatal: fototherapi, bila perlu transfusi tukar
Prenatal:
Transfusi (fetus)
Mencegah sensitisasi dari RH negatif ibu dengan RhoGAM
Pengkajian
1.      Riwayat keluarga dan kehamilan:
          Orang tua atau saudara dengan neonatal jaundice atau penyakit lever
          Prenatal care
          DM pada ibu
          Infeksi seperti toxoplasmosis, spilis, hepatitis, rubela, sitomegalovirus dan herves yang mana ditransmisikan secara silang keplasenta selama kehamilan
          Penyalahgunaan obat pada orang tua
          Ibu dengan Rh negatif sedangkan ayah dengan Rh positif
          Riwayat transfusi Rh positif pada ibu Rh negatif
          Riwayat abortus dengan bayi Rh positif
          Obat-obatan selama kehamilan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
          Induksi oksitosin pada saat persalinan
          Penggunaan vakum ekstraksi
          Penggunaan phenobarbital pada ibu 1-2 bulan sebelum persalinan
2.      Status bayi saat kelahiran:
          Prematuritas atau kecil masa kehamilan
          APGAR score yang mengindikasikan asfiksia
          Trauma dengan hematoma atau injuri
          Sepsis neonatus, adanya cairan yang berbau tidak sedap
          Hepatosplenomegali
3.      Kardiovaskuler
          Edema general atau penurunan volume darah, mengakibatkan gagal jantung pada hidro fetalis
4.      Gastrointestinal
          Oral feeding yang buruk
          Kehilangan berat badan sampai 5 % selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake kalori
          Hepatosplenomegali
5.      Integumen
          Jaundice selama 24 jam pertama (tipe patologis), setelah 24 jam pertama (Fisiologik tipe) atau setelah 1 bulan dengan diberikan ASI
          Kalor yang disebabkan oleh anemia yang terjadi karena hemolisis RBC
6.      Neurologik
          Hipotoni
          Tremor, tidak adanya reflek moro dan reflek menghisap, reflek tendon yang minimal
          Iritabilitas, fleksi siku, kelemahan otot, opistotonis
          Kejang
7.      Pulmonari
          Apnu, sianosis, dyspnea setelah kejadian kern ikterus
          Aspiksia, efusi pulmonal
8.      Data Penunjang
          Golongan darah dan faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif (test dilakukan saat prenatal)
          Amniosintesis dengan analisa cairan amnion, Coombs test dengan hasil negatif mengindikasikan peningkatan titer antibodi Anti D, bilirubin level pada cairan amnion meningkat sampai lebih dari 0,28 mg/dl sudah merupakan nilai abnormal (mengindikasikan kebutuhan transfusi pada janin).
          Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif bila antibodi terbentuk pada bayi.
          Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi terdapat pada darah ibu.
          Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20 mg/dl mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar tergantung dari berat badan bayi dan umur kehamilan.
          Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan hemolisis Rh
          Hitung retikulosit, meningkat pada hemolisis
          Hb dan HCT
          Total protein, menentukan penurunan binding site
          Hitung leukosit, menurun sampai dibawah 5000/mm3, mengindikasikan terjadinya infeksi
          Urinalsis, untuk mendeteksi glukosa dan aseton, PH dan urobilinogen, kreatinin level

Diagnosa Keperawatan

Dx. 1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan  produk sisa sel darah merah yang berlebihan dan imaturitas hati
Tujuan 1: Pasien mendapatkan terapi untuk menyeimbangkan eksresi bilirubin
Tindakan:
1.      Kaji adanya jaundice pada kulit, yang mana mengindikasikan peningkatan kadar bilirubin
2.      Cek kadar bilirubin dengan bilirobinometer transkutan untuk mengetahui peningkatan atau  penurunan kadar bilirubin
3.      Catat waktu terjadinya jaundice untuk membedakan fisiologik jaundice (terjadi setelah 24 jam) dengan patologik jaundice (terjadi sebelum 24 jam)
4.      Kaji status bayi  khususnya faktor yang dapat meningkatkan resiko kerusakan otak akibat hiperbilirubinemia (seperti hipoksia, hipotermia, hipoglikemia dan metabolik asidosis)
5.      Memulai feeding lebih cepat utuk mengeksresikan bilirubin pada feces
Hasil yang diharapkan:
1.      Bayi baru lahir memulai feeding segera setelah lahir
2.      Bayi baru lahir mendapatkan paparan dari sumber cahaya
Tujuan 2:  tidak terjadi komplikasi dari fototherapi
Tindakan:
1.      Tutupi mata bayi baru lahir untuk menghindari iritasi kornea
2.      Tempatkan bayi secara telanjang dibawah cahaya untuk memaksimalkan paparan cahaya pada kulit
3.      Ubah posisi secara teratur utnuk meningkatkan paparan pada permukaan tubuh
4.      Monitor suhu tubuh untuk mendeteksi hipotermia atau hipertermia
5.      Pada peningkatan BAB, bersihkan daerah perienal untuk menghindari iritasi
6.      Hindarkan penggunaan minyak pada kulit untuk mencegah rasa pedih dan terbakar
7.      Berikan intake fluid secara adekuat untuk menghindari rehidrasi
Hasil yang diharapkan : tidak terjadi iritasi mata, dehidrasi, instabilitas suhu dan kerusakan kulit
Tujuan 3: Tidak adanya komplikasi dari transfusi tukar (jika terapi ini diberikan)
Tindakan:
1.      Jangan berikan asupan oral sebelum prosedur (2-4 jam) untuk mencegah aspirasi
2.      Cek donor darah dan tipe Rh untuk mencegah reaksi transfusi
3.      Bantu dokter selama prosedur untuk mencegah infeksi
4.      Catat secara akurat jumlah darah yang masuk dan keluar untuk mempertahankan volume darah
5.      Pertahankan suhu tubuh yang optimal selama prosedur untuk mencegah hipotermia dan stress karena dingin atau hipotermia
6.      Observasi tanda perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia, distress nafas, perubahan tekanan darah secara dramatis, ketidakstabilan temperatur, dan rash)
7.      Siapkan alat resusitasi untuk mengatasi keadaan emergensi
8.      Cek umbilikal site terhadap terjadinya perdarahan atau infeksi
9.      Monitor vital sign selama dan stelah transfusi untuk mendeteksi komplikasi seperti disritmia jantung.
Hasil yang diharapkan :
1.      Bayi menunjukkan tidak adanya tanda-tanda reaksi transfusi
2.      Vital sign berada pada batas normal
3.      Tidak terjadi infeksi atau perdarahan   pada daerah terpasangnya infus
Dx.2. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan bayi dengan potensial respon fisiologis yang merugikan
Tujuan 1: Keluarga dapat memberikan suport emosional
Tindakan:
1.      Hentikan fototherapi selama kujungan keluarga, lepaskan tutup mata bayi untuk membantu interaksi keluarga
2.      Jelaskan proses fisiologis jaundice untuk mencegah kekhawatiran keluarga dan potensial over  proteksi pada bayi
3.      Yakinkan  keluarga bahwa kulit akan kembali normal
4.      Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya untuk memperpendek periode jaundice
5.      Jelaskan kegunaan ASI untuk mengatasi jaundice dan penyakit lainnya
Hasil yang diharapkan :
Keluarga menunjukkan pengertian terhadap terapi dan prognosa
Tujuan 2: Keluarga dapat melaksanakan fototherapi dirumah
Tindakan:
1.      Kaji pengertian keluarga terhadap jaundice dan terapi yang diberikan
2.      Instruksikan keluarga untuk:
          Melindungi mata
          Merubah posisi
          Memberikan asupan cairan yang adekuat
          Menghindari penggunaan minyak pada kulit
          Mengukur suhu aksila
          Mengobservasi bayi: warna, bentuk makanan, jumlah makanan
          Mengobservasi bayi terhadap tanda letargi, perubahan pola tidur, perubahan pola eliminasi
3.      Menjelaskan perlunya test bilirubin bila diperlukan
Hasil yang diharapkan:
Keluarga dapat menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan fototherapi di rumah (khususnya metode dan rasional)

 

HIPOTERMIA & HIPERTERMIA

HIPOTERMIA
Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C – 37,50C pada suhu ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki  dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C – <360C). Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.

Etiologi dan faktor presipitasi

          Prematuritas
          Asfiksia
          Sepsis
          Kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral
          Pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran
          Eksposure suhu lingkungan yang dingin
Penanganan hipotermia ditujukan pada: 1) Mencegah hipotermia, 2) Mengenal bayi dengan hipotermia, 3) Mengenal resiko hipotermia, 4) Tindakan pada hipotermia.       
Tanda-tanda klinis hipotermia:
a.       Hipotermia sedang:
          Kaki teraba dingin
          Kemampuan menghisap lemah
          Tangisan lemah
          Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata
b.      Hipotermia berat
          Sama dengan hipotermia sedang
          Pernafasan lambat tidak teratur
          Bunyi jantung lambat
          Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolik
c.       Stadium lanjut hipotermia
          Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang
          Bagian tubuh lainnya pucat
          Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)
HIPERTERMIA
Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya bagi bayi. Keadaan ini terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang udaranya panas, terlalu banyak pakaian dan selimut.
Gejala hipertermia pada bayi baru lahir :
          Suhu tubuh bayi > 37,5 C
          Frekuensi nafas bayi > 60 x / menit
          Tanda-tanda dehidrasi yaitu berat badan menurun, turgor kulit kurang, jumlah urine berkurang

Pengkajian hipotermia & hipertermia

1.      Riwayat kehamilan
          Kesulitan persalinan dengan trauma infant
          Penyalahgunaan obat-obatan
          Penggunaan anestesia atau analgesia pada ibu
2.      Status bayi saat lahir
          Prematuritas
          APGAR score yang rendah
          Asfiksia dengan rescucitasi
          Kelainan CNS atau kerusakan
          Suhu tubuh dibawah 36,5 C atau diatas 37,5 C
          Demam pada ibu yang mempresipitasi sepsis neonatal
3.      Kardiovaskular
          Bradikardi
          Takikardi pada hipertermia
4.      Gastrointestinal
          Asupan makanan yang buruk
          Vomiting atau distensi abdomen
          Kehilangan berat badan yang berarti
5.      Integumen
          Cyanosis central atau pallor (hipotermia)
          Kulit kemerahan (hipertermia)
          Edema pada muka, bahu dan lengan
          Dingin pada dada dan ekstremitas(hipotermia)
          Perspiration (hipertermia)
6.      Neorologic
          Tangisan yang lemah
          Penurunan reflek dan aktivitas
          Fluktuasi suhu diatas atau dibawah batas normal sesuai umur dan berat badan
7.      Pulmonary
          Nasal flaring atau penurunan nafas, iregguler
          Retraksi dada
          Ekspirasi grunting
          Episode apnea atau takipnea (hipertermia)
8.      Renal
          Oliguria
9.      Study diagnostik
          Kadar glukosa serum, untuk mengidentifikasi penurunan yang disebabkan energi yang digunakan untuk respon terhadap dingin atau panas
          Analisa gas darah, untuk menentukan peningkatan karbondoksida dan penurunan kadar oksigen, mengindikasikan resiko acidosis
          Kadar Blood Urea Nitrogen, peningkatan mengindikasikan kerusakan fungsi ginjal dan potensila oliguri
          Study elektrolit, untuk mengidentifikasi peningkatan potasium yang berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal
          Kultur cairan tubuh, untuk mengidentifikasi adanya infeksi
 
Diagnosa keperawatan
Dx.1. Suhu tubuh abnormal berhubungan dengan kelahiran abnormal, paparan suhu lingkungan yang dingin atau panas.
Tujuan 1 : Mengidentifikasi bayi dengan resiko atau aktual ketidakstabilan suhu tubuh
Tindakan :
1.      Kaji faktor yang berhubungan dengan resiko fluktuasi suhu tubuh pada bayi seperti prematuritas, sepsis dan infeksi, aspiksia atau hipoksia, trauma CNS, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, suhu lingkungan yang terlalu panas atau dingin, trauma lahir dan riwayat penyalahgunaan obat pada ibu
2.      Kaji potensial dan aktual hipotermia atau hipertermia :
          Monitor suhu tubuh, lakukan pengukuran secara teratur
          Monitor suhu lingkungan
          Cegah kondisi yang menyebabkan kehilangan panas pada bayi seperti baju basah atau bayi tidak kering, paparan uadara luar atau pendingin ruangan
          Cek respiratory rate (takipnea), kedalaman dan polanya
          Observasi warna kulit
          Monitor adanya iritabilitas, tremor dan aktivitas seizure
          Monitor adanya flushing, distress pernafasan, episode apnea, kelembaban kulit, dan kehilangan cairan.
Tujuan 2. Mencegah kondisi yang dapat mencetuskan fluktuasi suhu tubuh
Tindakan :
1.      Lindungi dinding inkubator dengan
          Meletakkan inkubator ditempat yang tepat
          Suhu kamar perawatan/kamar operasi dipertahankan + 24 C
          Gunakan alas atau pelindung panas dalam inkubator
2.      Keringkan bayi baru lahir segera dibawah pemanas
3.      Air mandi diatas 37 C dan memandikannnya sesudah bayi stabil dan 6 – 12 jam postnatal, keringkan segera
4.      Pergunakan alas pada meja resusitasi atau pemanas
5.      Tutup permukaan meja resusitasi dengan selimut hangat, inkubator dihangatkan dulu
6.      Pertahankan suhu kulit 36 – 36,5 C
7.      Sesedikit mungkin membuka inkubator
8.      Hangatkan selalu inkubator sebelum dipakai
9.      Gendong bayi dengan kulit menempel ke kulit ibu (metode kangguru)
10.  Beri topi dan bungkus dengan selimut
Tujuan 3:  Mencegah komplikasi dingin
Tindakan :
1.      Kaji tanda stress dingin pada bayi :
          Penurunan suhu tubuh sampai < 32,2 C
          Kelemahan dan iritabilitas
          Feeding yang buruk dan lethargy
          Pallor, cyanosis central atau mottling
          Kulit teraba dingin
          Warna kemerahan pada kulit
          Bradikardia
          Pernafasan lambat, ireguler disertai grunting
          Penurunan aktivitas dan reflek
          Distesi abdomen dan vomiting
2.      Berikan treatment pada aktual atau resiko injury karena dingin sebagai berikut :
          Berikan therapy panas secara perlahan dan catat suhu tubuh setiap 15 menit
          Pertimbangkan pemberian plasma protein (Plasmanate) setelah 30 menit
          Berikan oksigen yang telah diatur kelembabannya
          Monitor serum glukosa
          Berikan sodium bikarbonat untuk acidosis metabolik
          Untuk menggantikan asupan makanan dan cairan, berikan dekstrose 10% sampai temeperatur naik diatas 35 C
Dx.2. Deficit pengetahuan (orangtua) berhubungan dengan kondisi bayi baru lahir dan cara mempertahankan suhu tubuh bayi.
Tujuan  : Memberikan informasi yang cukup kepada orangtua tentang kondisi bayi dan perawatan yang diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh bayi
Tindakan :
  1. Beri informasi pada orangtua tentang :
          Penyebab fluktuasi suhu tubuh
          Kondisi bayi
          Treatment untuk menstabilkan suhu tubuh
          Perlunya membungkus/menyelimuti bayi saat menggendong dan bepergian
  1. Ajari orangtua cara mengukur suhu tubuh aksila pada bayi dan minta mereka untuk mendemontrasikannya
  2. Informasikan kepada orangtua tentang perawatan saat bayi di inkubator
  3. Anjurkan pasien bertanya, mengklarifikasi yang belum jelas dan menunjukkan prilaku seperti diajarkan

BAYI PREMATUR

Definisi :
Bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37 minggu atau kurang saat kelahiran disebut dengan bayi prematur. Walaupun kecil, bayi prematur ukurannya sesuai dengan masa kehamilan tetapi perkembangan intrauterin yang belum sempurna dapat menimbulkan komplikasi pada saat post natal. Bayi baru lahir yang mempunyai berat 2500 gram atau kurang dengan umur kehamilan lebih dari 37 minggu disebut dengan kecil masa kehamilan, ini berbeda dengan prematur, walaupun 75% dari neonatus yang mempunyai berat dibawah 2500 gram lahir prematur.
Problem klinis terjadi lebih sering pada bayi prematur dibandingkan dengan pada bayi lahir normal. Prematuritas menimbulkan imaturitas perkembangan dan fungsi sistem, membatasi kemampuan bayi untuk melakukan koping terhadap masalah penyakit.
Masalah yang umum terjadi diantaranya respiratory disstres syndrom (RDS), enterocolitis nekrotik, hiperbilirubinemia, hypoglikemia, thermoregulation, patetnt duktus arteriosus (PDA), edema paru, perdarahan intraventrikular. Stressor tambahan lain pada infant dan orangtua meliputi hospitalisasi untuk penyakit pada bayi. Respon orangtua dan mekanisme koping mereka dapat menimbulkan gangguan pada hubungan antar mereka. Diperlukan perencanaan dan tindakan yang adekuat untuk permasalahn tersebut.
Bayi prematur dapat bertahan hidup tergantung pada berat badannya, umur kehamilan, dan penyakit atau abnormalitas. Prematur menyumbangkan 75% – 80% angka kesakitan dan kematian neonatus.
Etiologi dan faktor presipitasi:
Permasalahan pada ibu saat kehamilan :
          Penyakit/kelainan  seperti hipertensi, toxemia, placenta previa, abruptio placenta, incompetence cervical, janin kembar, malnutrisi dan diabetes mellitus.
          Tingkat sosial ekonomi yang rendah dan prenatal care yang tidak adekuat
          Persalinan sebelum waktunya atau induced aborsi
          Penyalahgunaan konsumsi pada ibu seperti obat-obatan terlarang, alkohol, merokok dan caffeine

Pengkajian

1.      Riwayat kehamilan
          Umur ibu dibawah 16 tahun dengan latar belakang pendidikan rendah
          Kehamilan kembar
          Status sosial ekonomi, prenatal care tidak adekuat, nutrisi buruk
          Kemungkinan penyakit genetik
          Riwayat melahirkan prematur
          Infeksi seperti TORCH, penyakit menular seksual dan lain sebagainya
          Kondisi seperti toksemia, prematur rupture membran, abruptio placenta dan prolaps umbilikus
          Penyalahgunaaan obat, merokok, konsumsi kafeine dan alkohol
          Golongan darah, faktor Rh, amniocentesis.
2.      Status bayi baru lahir
          Umur kehamilan antara 24 – 37 minggu, berat badan lahir rendah atau besar masa kehamilan
          Berat badan dibawah 2500 gram
          Kurus, lemak subkutan minimal
          Adanya kelainan fisik yang terlihat
          APGAR skore 1 – 5 menit : 0 – 3 mengindikasikan distress berat, 4 – 6 menunjukkan disstres sedang dan 7 – 10 merupakan nilai normal.
3.      Kardiovaskular
          Denyut jantung 120 – 160 x per menit pada sisi apikal dengan irama teratur
          Saat kelahiran, terdengar murmur
4.      Gastrointestinal
          Protruding abdomen
          Keluaran mekonium setelah 12 jam
          Kelemahan menghisap dan penurunan refleks
          Pastikan anus tanpa/dengan abnormalitas kongenital
5.      Integumen
          Cyanosis, jaundice, mottling, kemerahan, atau kulit berwarna kuning
          Verniks caseosa sedikit dengan rambut lanugo di seluruh tubuh
          Kurus
          Edema general atau lokal
          Kuku pendek
          Kadang-kadang terdapat petechie atau ekimosis
6.      Muskuloskeletal
          Cartilago pada telinga belum sempurna
          Tengkorak lunak
          Keadaan rileks, inaktive atau lethargi
7.      Neurologik
          Refleks dan pergerakan pada test neurologik tanpa resistansi
          Reflek menghisap, swalowing, gag reflek serta reflek batuk lemah atau tidak efektif
          Tidak ada atau minimalnya tanda neurologik
          Mata masih tertutup pada bayi dengan umur kehamilan 25 – 26 minggu
          Suhu tubuh yang tidak stabil : biasanya hipotermik
8.      Pulmonary
          Respiratory rate antara 40 – 60 x/menit dengan periode apnea
          Respirasi irreguler dengan nasal flaring, grunting dan retraksi (interkostal, suprasternal, substrenal)
          Terdengar crakles pada auskultasi
9.      Renal
          Berkemih terjadi 8 jam setelah lahir
          Kemungkinan ketidakmampuan mengekresikan sulution dalam urine
10.  Reproduksi
          Perempuan : labia mayora belum menutupi klitoris sehingga tampak menonjol
          Laki-laki : testis belum turun secara sempurna ke kantong skrotum, mungkin terdapat inguinal hernia.
11.  Data penunjang
          X-ray pada dada dan organ lain untuk menentukan adanya abnormalitas
          Ultrasonografi untuk mendeteksi kelainan organ
          Stick glukosa untuk menentukan penurunan kadar glukosa
          Kadar kalsium serum, penurunan kadar berarti terjadi hipokalsemia
          Kadar bilirubin untuk mengidentifikasi peningkatan (karena pada prematur lebih peka terhadap hiperbilirubinemia)
          Kadar elektrolit, analisa gas darah, golongan darah, kultur darah, urinalisis, analisis feses dan lain sebagainya.

Diagnosa keperawatan

Dx. 1. Resiko tinggi disstres pernafasan berhubungan dengan immaturitas paru dengan penurunan produksi surfactan yang menyebabkan hipoksemia dan acidosis
Tujuan : Mempertahankan dan memaksimalkan fungsi paru
Tindakan :
1.      Kaji data fokus pada kemungkinan disstres pernafasan yaitu :
          Riwayat penyalahgunaan obat pada ibu atau kondisi abnormal selama kehamilan dan persalinan
          Kondisi bayi baru lahir : APGAR score, kebutuhan resusitasi
          Respiratory rate, kedalaman, takipnea
          Pernafasan grunting, nasal flaring, retraksi dengan penggunaan otot bantu pernafasan (intercostal, suprasternal, atau substernal)
          Cyanosis, penurunan suara nafas
2.      Kaji episode apneu yang terjadi lebih dari 20 detik, kaji keadaan berikut :
          Bradykardi
          Lethargy, posisi dan aktivitas sebelum, selama dan setelah episode apnea (sebagai contoh saat tidur atau minum ASI)
          Distensi abdomen
          Suhu tubuh dan mottling
          Kebutuhan stimulasi
          Episode dan durasi apnea
          Penyebab apnea, seperti stress karena dingin, sepsis, kegagalan pernafasan.
3.      Berikan dan monitor support respiratory sebagai berikut :
          Berikan oksigen sesuai indikasi
          Lakukan suction secara hati-hati dan tidak lebih dari 5 detik
          Pertahankan suhu lingkungan yang normal
4.      Monitor hasil pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui terjadinya acidosis metabolik
5.      Berikan oabt-obat sesuai permintaan dokter seperti theophylin IV. Monitor kadar gula darah setiap 1 – 2 hari.
Dx. 2. Resiko hipotermia atau hipertermia berhubungan dengan prematuritas atau perubahan suhu lingkungan
Tujuan : Mempertahankan suhu lingkungan normal
Tindakan :
1.      Pertahankan suhu ruang perawatan pada 25 C
2.      Kaji suhu rectal bayi dan suhu aksila setiap 2 jam atau bila perlu
3.      Tempatkan bayi di bawah pemanas atau inkubator sesuai indikasi
4.      Hindarkan meletakkan bayi dekat dengan sumber panas atau dingin
5.      Kaji status infant yang menunjukkan stress dingin
Dx. 3. Defiensi nutrisi berhubungan dengan tidak adekuatnya cadangan glikogen, zat besi, dan kalsium dan kehilangan cadangan glikogen karena metabolisme rate yang tinggi, tidak adekuatnya intake kalori, serta kehilangan kalori.
Tujuan : meningkatkan dan mempertahankan intake kalori yang adekuat pada bayi
Tindakan :
1.      Kaji refleks hisap dan reflek gag pada bayi. Mulai oral feeding saat kondisi bayi stabil dan respirasi terkontrol
2.      Kaji dan kalkulasikan kebutuhan kalori bayi
3.      Mulai breast feeding atau bottle feeding 2 – 6 jam setelah lahir. Mulai dengan 3 – 5 ml setiap kali setiap 3 jam. Tingkatkan asupan bila memungkinkan.
4.      Timbang berat badan bayi setiap hari, bandingkan berat badan dengan intake kalori untuk menentukan pemabatasan atau peningkatan intake
5.      Berikan infus dextrose 10% jika bayi tidak mampu minum secara oral
6.      Berikan TPN dan intralipid jika dibutuhkan
7.      Monitor kadar gula darah
Dx. 4. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas, radiasi lingkungan, efek fototherapy atau kehilangan melalui kulit atau paru.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Tindakan :
1.      Kaji dan hitung kebutuhan cairan bayi
2.      Berikan cairan 150 – 180 ml/kg berat badan dan 200 ml/kg berat badan jika dibutuhkan.
3.      Timbang berat badan bayi setiap hari
4.      Monitor dan catat intake dan output setiap hari, bandingkan jumlahnya untuk menentukan status ketidakseimbangan.
5.      Test urine : spesifik gravity dan glikosuria
6.      Pertahankan suhu lingkungan normal
7.      Kaji tanda-tanda peningkatan kebutuhan cairan :
          Peningkatan suhu tubuh
          Hipovolemik shock dengan penurunan tejanan darah dan peningkatan denut jantung, melemahnya denyut nadi, tangan teraba dingin serta motling pada kulit.
          Sepsis
          Aspiksia dan hipoksia
8.      Monitor potassium, sodium dan kadar chloride. Ganti cairan dan elektrolit dengan dextrose 10% bila perlu.
Dx. 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imaturitas imunologik bayi dan kemungkinan infeksi dari ibu atau tenaga medis/perawat
Tujuan : Infeksi dapat dicegah
Tindakan :
1.      Kaji fluktuasi suhu tubuh, lethargy, apnea, iritabilitas dan jaundice
2.      Review riwayat ibu, kondisi bayi saat lahir, dan epidemi infeksi di ruang perawatan
3.      Amati sampel darah dan drainase
4.      Lakukan pemeriksaan CBC dengan hitung leukosit, platelets, dan imunoglubolin
5.      Berikan lingkungan yang melindungi bayi dari infekasi :
          Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh bayi
          Ikuti protokol isolasi bayi
          Lakukan tehnik steril saat melakukan prosedur pada bayi
Dx. 6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan rapuh dan imaturitas kulit
Tujuan : Mempertahankan integritas kulit
Tindakan :
1.      Kaji kulit bayi terhadap kemerahan, iritasi, rashes, dan lesi serta keadaan pada area kulit yang tertekan.
2.      Kaji tempat-tempat prosedur invasif pada bayi
3.      Berikan perawatan kulit setiap hari. Lindungi kulit bayi dari kontak dengan agen pembersih atau plester.
Dx. 7. Gangguan sensori persepsi : visual, auditory, kinestehetik, gustatory, taktil dan olfaktory berhubungan dengan stimulasi yang kurang atau berlebihan pada lingkungan intensive care
Tujuan : Mempertahankan stimulasi sensori yang optimal tanpa berlebihan
Tindakan :
1.      Kaji kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus. Observasi :
          Deficit neurologik
          Kurangnya perhatian bayi terhadap stimulus
          Tidak ada respon terhadap suara, kontak mata atau tidak adanya refleks normal
          Efek obat terhadap perkembangan bayi
2.      Berikan stimulasi visual :
          Arahkan cahaya lampu pada bayi
          Ayunkan benda didepan mata bayi
          Letakkan bayi pada posisi yang memungkinkan untuk kontak mata : tegakkan bayi
3.      Berikan stimulasi auditory :
          Bicara pada bayi, lakukan dengan tekanan suara rendah dan jelas
          Panggil bayi dengan namanya, bicara pada bayi saat memberikan perawatan
          Bernyanyi, mainkan musik tape recorder atau hidupkan radio
          Hindari suara bising di sekitar bayi
4.      Berikan stimulasi tactile :
          Peluk bayi dengan penuh kasih sayang
          Berikan kesempatan pada bayi untuk menghisap
          Sentuh bayi dengan benda lembut seperti saputangan atau kapas
          Berikan perubahan posisi secara teratur
5.      Berikan stimulasi gustatory dengan mendekatkan hidung bayi ke payudara ibu atau ASI yang ditampung.
6.      Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup.
Dx. 8. Deficit pengetahuan (keluarga) tentang perawatan infant yang sakit di rumah
Tujuan :
1.      Informasikan orangtua dan keluarga tentang :
          Proses penyakit
          Prosedur perawatan
          Tanda dan gejala problem respirasi
          Perawatan lanjutan dan therapy
2.      Ajarkan orangtua dan keluarga tentang treatment pada anak :
          Therapy home oksigen
          Ventilasi mekanik
          Fisiotherapi dada
          Therapy obat
          Therapy cairan dan nutrisi
3.      Berikan kesempatan pada keluarga mendemontrasikan perawatan pada bayinya
4.      Anjurkan keluarga terlibat pada perawatan bayi
5.      Ajarkan keluarga dan orangtua bagaimana menyeimbangkan istirahat dan tidur dan bagaimana menilai toleransi bayi terhadap aktivitas.

 

ASFIKSIA

Penilaian bayi pada kelahiran adalah untuk mengetahui derajat vitalitas fungsi tubuh. Derajat vitalitas adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat essensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan reflek-reflek primitif seperti menghisap dan mencari puting susu. Bila tidak ditangani secara tepat, cepat dan benar keadaan umum bayi akan menurun dengan cepat dan bahkan mungkin meninggal. Pada beberapa bayi mungkin dapat pulih kembali dengan spontan dalam 10 – 30 menit sesudah lahir namun bayi tetap mempunyai resiko tinggi untuk cacat.
Umumnya penilaian pada bayi baru lahir dipakai nilai APGAR (APGAR Score). Pertemuan SAREC di Swedia tahun 1985 menganjurkan penggunaan parameter penilaian bayi baru lahir dengan cara sederhana yang disebut nilai SIGTUNA (SIGTUNA Score) sesuai dengan nama tempat terjadinya konsensus. Penilaian cara ini terutama untuk tingkat pelayanan kesehatan dasar karena hanya menilai dua parameter yang essensial.

Tabel 2. Cara Menetapkan Nilai SIGTUNA

Yang Dinilai
2
1
0
Nilai
Pernafasan
Teratur
Megap-megap
Tidak ada
Denyut jantung
> 100/menit
< 100/menit
Tidak ada

Jumlah nilai = Nilai SIGTUNA

Derajat vitalitas bayi baru lahir menurut nilai SIGTUNA adalah : (a) tanpa asfiksia atau asfiksia ringan nilai = 4, (b) asfiksia sedang nilai 2 – 3, (c) asfiksia berat nilai 1, (d) bayi lahir mati / mati baru “fresh still birth” nilai 0.
Selama ini umumnya untuk menilai derajat vitalitas bayi baru lahir digunakan penilaian secara APGAR. Pelaksanaanya cukup kompleks karena pada saat bersamaan penolong persalinan harus menilai lima parameter yaitu denyut jantung, usaha nafas, tonus otot, gerakan dan warna kulit. dari hasil penelitian di AS nilai APGAR sangat bermanfaat untuk mengenal bayi resiko tinggi yang potensial untuk kematian dan kecacatan neurologis jangka panjang seperti cerebral palsy. Dari lima variabel nilai APGAR hanya pernafasan dan denyut jantung yang berkaitan erat dengan terjadinya hipoksia dan anoksia. Ketiga variabel lain lebih merupakan indikator maturitas tumbuh kembang bayi.
Penanganan asfiksia pada bayi baru lahir bertujuan untuk menjaga jalan nafas tetap bebas, merangsang pernafasan, menjaga curah jantung, mempertahankan suhu, dan memberikan obat penunjang resusitasi. Akibat yang mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami kematian 10 – 20 %, sedangkan 20 – 45 % dari yang hidup mengalami kelainan neurologi. Kira-kira 60 % nya dengan gejala sisa berat. Sisanya normal. Gejala sisa neurologik berupa cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, mikrocefalus, hidrocefalus dan lain-lain.

Diagnosa Keperawatan

Gangguan pertukaran gas
Data penunjang/Faktor kontribusi :
Oksigenasi yang adekuat dari bayi dipengaruhi banyak faktor seperti riwayat prenatal dan intrapartal,  produksi mukus yang berlebihan, dan stress karena dingin. Riwayat prenatal dan intrapartal yang buruk dapat mengakibatkan fetal distress dan hipoksia saat masa adaptasi bayi. Pertukaran gas juga dapat terganggu oleh produksi mucus yang berlebihan dan bersihan jalan nafas yang tidak adekuat. Stress akibat dingin meningkatkan kebutuhan oksigen dan dapat mengakibatkan acidosis sebagai efek dari metabolisme anaerobik.
Tujuan :
Jalan nafas bebas dari sekret/mukus, pernafasan dan nadi dalam batas normal, cyanosis tidak terjadi, tidak ada tanda dari disstres pernafasan.
Intervensi :
·         Amati komplikasi prenatal yang mempengaruhi status plasenta dan fetal (penyakit jantung atau ginjal, PIH atau Diabetes)
·         Review status intrapartal termasuk denyut jantung, perubahan denyut jantung, variabilitas irama, level PH, warna dan jumlah cairan amnion.
·         Catat waktu dan pengobatan yang diberikan kepada ibu seperti Magnesium sulfat atau Demerol
·         Kaji respiratori rate
·         Catat keadaan nasal faring, retraksi dada, respirasi grunting, rales atau ronchi
·         Bersihkan jalan nafas; lakukan suction nasofaring jika dibutuhkan, monitor pulse apikal selama suction
·         Letakkan bayi pada posisi trendelenburg pada sudut 10 derajat.
·         Keringkan bayi dengan handuk yang lembut selimuti dan letakkan diantara lengan ibu atau hangatkan dengan unit pemanas
·         Amati intensitas tangisan
·         Catat pulse apikal
·         Berikan sentuhan taktil dan stimulasi sensori
·         Observasi warna kulit, lokasi sianosis, kaji tonus otot

Kolaborasi

·         Berikan oksigen melalui masker, 4 – 7 lt/menit jika diindikasikan asfiksia
·         Berikan obat-obatan seperti Narcan melalui IV
·         Berikan terapi resusitasi
DAFTAR  PUSTAKA
Markum, A.H., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1991
Melson, Kathryn A & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Planning, Second Edition, Springhouse Corporation, Springhouse Pennsylvania, 1994
Wong, Donna L., Wong & Whaley’s Clinical Manual of Pediatric Nursing, Fourth Edition, Mosby-Year Book Inc., St. Louis Missouri, 1990
Doenges, Marilyn E., Maternal/Newborn Care Plans : Guidelines for Client Care, F.A. Davis Company, Philadelphia, 1988